Artikel April 07

Kritik Terbuka untuk Para Orang Tua:
Apa Peran Mereka dalam Pendidikan?

Seringkali ketika pendidikan menjadi topik pembicaraan, fokus permasalahannya menuju ke anak (peserta didik) sebagai subjek pendidikan. Atau suatu waktu, sistem pendidikan yang kita kambing hitamkan. Mulai dari berganti-gantinya kurikulum, minimnya kualitas guru, hingga fasilitas pendidikan yang tidak lengkap. Kesemuanya memang menjadi permasalahan dalam carut-marutnya sistem pendidikan kita. Namun, jarang dari kita mengungkit keterlibatan orang tua sebagai komponen dari seabrek masalah tersebut.

Wacana ini menarik karena, sekali lagi, sangat jarang pihak-pihak terkait menjadikannya sebagai bahan studi. Kelalaian ini terjadi karena memang sistem pendidikan di negeri kita tidak secara eksplisit menuntut keterlibatan orang tua dalam pendidikan anaknya. Peran orang tua terbatas hanya pada kehadirannya pada rapat orang tua murid di sekolah. Atau sekedar mengambil laporan penilaian hasil belajar tiap semester. Rutinitas ini lalu telah menjadi sebuah kultur masyarakat, mengakar, sampai membiaskan makna peran mereka sebenarnya dalam dunia pendidikan.

Dalam konteks pendidikan, sebenarnya tidak hanya sekolah, sebagai representasi negara, yang menjadi penanggung jawab sentral pendidikan. Masih ada unsur lain yaitu peserta didik dan masyarakat. Orang tua adalah masyarakat sehingga turut memikul tanggung jawab terhadap proses pendidikan. Namun, nyatanya sangat sedikit orang tua yang turut serta dalam proses pendidikan ini. Bagi orang tua, dengan menyekolahkan anaknya berarti tanggung jawab pendidikan berpindah ke tangan sekolah. Para orang tua alpa menyadari bahwa pendidikan tidak hanya terjadi di kelas belajar sekolah. Di rumah, di jalan, bahkan di bus kota juga termasuk tempat belajar.

Lalu bagaimanakah seharusnya peran orang tua dalam pendidikan? Minimal ada tiga fungsi yang harus dilaksanakan orang tua. Pertama adalah fungsi motivator. Fungsi ini terkait dalam menjaga semangat belajar anak sehingga dapat stabil. Seringkali berbagai aktivitas anak di luar kelas sangat berpengaruh terhadap kondisi emosional mereka. Suatu waktu bisa dalam posisi tinggi motivasinya, lain waktu bisa jatuh, karena putus cinta atau problem dengan sahabatnya misalnya. Di sinilah kebijaksanaan orang tua diharapkan. Berbekal pengalaman hidup, orang tua bisa menyampaikan kata-kata untuk meningkatkan rasa percaya diri sang anak. Dari motivasi yang kuat inilah sebagai modal awal untuk semangat dalam belajar dan menjalani kesehariannya.

Fungsi berikutnya adalah pembimbing. Orang tua adalah contoh yang paling sering diteladani anak. Tingkah laku anak terkadang mencerminkan perilaku orang tuanya. Oleh karena itulah, bimbingan dan arahan kepada anak seharusnya menjadi prioritas. Bimbingan dalam belajar dapat dilakukan dengan membantu kesulitan anak dalam mengerjakan PR atau memahami materi pelajaran tertentu. Jika tidak bisa membantu mengajari, orang tua boleh saja memakai jasa guru privat. Akan tetapi, yang lebih ditekankan dalam proses bimbingan di sini adalah keterlibatan langsung orang tua. Jadi, meskipun dengan bantuan guru privat, orang tua tetap berada di samping anaknya ketika belajar. Bukan mengurusi pekerjaan di kantor atau malah menonton televisi.

Terakhir adalah fungsi pengawas. Setelah anak diberikan motivasi dan bimbingan, maka tahap berikutnya adalah mengawasi aktivitas anak. Jangan sampai karena kelalaian orang tua, sang anak menjadi korban narkotika atau minuman keras. Sangat disayangkan ketika bekal anak sudah baik dalam lingkungan rumah, ia terpengaruh lingkungan yang sudah amburadul. Dalam konteks inilah, orang tua memegang tugas penting untuk memantau teman rumah dan sekolahnya hingga prestasi belajarnya. Bertanya kepada anak bukanlah suatu kesalahan. Akan tetapi, seringkali dalam tahapan ini, anak merasa bahwa dirinya diinvestigasi, merasa sebagai tertuduh. Jadi, konsep yang lebih menekankan kepada keakraban dan secara halus, akan lebih diterima dan direspon baik oleh anak.

Ketiga fungsi ini masih belum dijalankan oleh orang tua sehingga pantas saja kondisi pendidikan di negeri ini berantakan. Budaya membolos di mall, maraknya rokok dan narkotika di kalangan pelajar, serta minimnya minat baca serta belajar anak timbul karena orang tua memang tidak peduli dengan pendidikan anaknya. Orang tua seringkali menuntut anaknya memperoleh rangking di kelas dengan mengabaikan bahwa keberhasilan anak-anak ini tergantung usaha orang tuanya juga.

Jika kondisi masih terus seperti ini, pendidikan di Indonesia sulit untuk banyak berubah. Di satu sisi pemerintah dan elemen sekolah giat memperbaiki berbagai sistem pendidikan yang tidak efektif. Di sisi lain dukungan dari masyarakat, khususnya orang tua siswa, ternyata tidak berjalan seiring dengan usaha pemerintah tersebut. Tentunya hal ini amat disayangkan. Masih belum terlambat untuk meningkatkan kontribusi orang tua dalam proses pendidikan anaknya. Jangan sampai tanggung jawab mendidik anak merasa sudah dilaksanakan dengan menyekolahkannya, memberikan uang saku, menyediakan fasilitas belajar dan sebagainya. Pemberhentian di batas ini berarti hanya pemenuhan atas tanggung jawab secara fisik, bukan holistik, yang mencakup mental dan spiritualnya. Semoga saja tidak.

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s