Suksesi dan Pengkaderan
(dimuat di buletin BEM Fasilkom UI)
Setiap potongan zaman mempunyai pahlawannya masing-masing. Mereka adalah putra-putri terbaik yang dilahirkan pada potongan zamannya… Para pahlawan itu adalah anak-anak zaman mereka (Anis Matta)
Suksesi adalah keniscayaan. Ia berlaku pada semua tempat dan masa. Tak memandang siapa dan apa yang menjadi objeknya. Kita mengenalnya sebagai penggantian kekuasaan. Dari orang-orang yang berkuasa sebelumnya kepada mereka yang berkuasa nantinya.
Mengapa harus ada suksesi? Paling tidak ada tiga hal yang menjadi penyebabnya. Pertama, untuk meneruskan estafet perjuangan suatu komunitas. Komunitas yang dimaksud ini bisa berupa negara, organisasi-organisasi besar ataupun kecil. Seorang presiden memiliki usia yang terbatas. Begitu juga dengan ketua BEM, yang juga dibatasi oleh statusnya sebagai mahasiswa. Sedangkan negara atau BEM memiliki usia yang relatif panjang dibandingkan pelaksana-pelaksananya. Oleh karena itulah, pergantian kepemimpinan tak bisa dihindari sehingga komunitas membutuhkan orang-orang baru yang akan menjalankannya pada masa depan.
Kedua, suksesi diperlukan untuk menumbangkan kezaliman. Masih tergambar jelas saat Amien Rais dengan gagah beraninya, sendirian, mewacanakan adanya pergantian kekuasaan dari Soeharto awal 1990-an. Saat itu, beliau lantang menyuarakan telah banyak terjadi penyalahgunaan kekuasaan negara. Maka, tidak ada jalan lain selain mengganti penyelenggara negaranya. Lalu, dimulailah episode suksesi yang berakhir tahun 1998 tatkala Soeharto mengundurkan diri sebagai presiden RI.
Ketiga, suksesi adalah cara untuk menyegarkan suatu komunitas. Sebuah amanah yang dipegang terus menerus menciptakan kejumudan dalam komunitas itu sendiri. Pergantian personel dengan amanah baru dapat menjadi salah satu solusinya. Dengan menempatkan tenaga segar, kreativitas dan aktivitas dari komunitas itu lebih teroptimalisasi.
Suksesi adalah sebuah proses, bukan peristiwa. Ketika suksesi dianggap sebagai peristiwa, kondisi yang terjadi seperti yang menimpa bangsa kita. Betapa sulitnya mencari pemimpin-pemimpin yang kompeten dan dikenal rakyatnya. Fakta ini terungkap dalam sebuah jajak pendapat yang disiarkan di salah satu program televisi swasta. Prediksi nama-nama calon presiden pilihan rakyat pada tahun 2009 tidak akan berbeda jauh dibandingkan nama-nama pada pemilu 2004 lalu. Indikasi lainnya terlihat pada hasil raker sebuah partai besar yang masih tetap mencalonkan orang yang telah terbukti gagal saat pemilihan presiden sebelumnya.
Maka, layaknya sebuah proses, suksesi harus melalui tahapan-tahapannya. Tahapan ini bermuara kepada lahirnya generasi penerus yang berkualitas. Di bahu merekalah, tersandar kelanggengan komunitas itu. Dalam konteks kekinian dan kedisinian, komunitas itu adalah lembaga-lembaga formal di kampus kita.
Jika ingin melihat keberhasilan suksesi, Rasulullah SAW telah membuktikan berhasil meninggalkan kader-kader besar yang masih dikenang dunia sampai sekarang. Dari masyarakat Arab primitif, lahirlah pemimpin-pemimpin, pemikir dan ilmuwan besar. Abu Bakar, Umar, Ali, dan Ibnu Abbas adalah sampel kecil dari populasi orang-orang luar biasa.
Demikan pula yang semestinya terjadi di kampus kita. Metode suksesi harus benar. Periode 2006-2007, para petinggi lembaga tampaknya telah menyadari suksesi sebagai proses. Maka, dimulailah agenda besar pengkaderan. BEM dengan magangnya. FUKI dengan AM/FM-nya.
Pengkaderan merupakan salah satu langkah strategis dalam pengelolaan lembaga formal pada masa-masa berikutnya. Yang terpenting dalam pengkaderan adalah muatan-muatan yang disampaikan. Sejauh mana implikasi dari muatan tersebut kepada orang-orang yang dikader dari sisi implementasi kepemimpinannya, manajemen organisasinya, bahkan interpersonalnya.
Begitulah seharusnya sebuah proses suksesi. Ia mengkader calon-calon pemimpin secara sempurna dan menyeluruh. Dilatih untuk bisa mendayagunakan seluruh potensinya. Dibekali pengetahuan managerial dan teknis sehingga tidak canggung berhadapan dengan masalah-masalah besar. Diajarkan pula cara berkomunikasi dengan lingkungannya.
Melalui tahap inilah, lembaga formal di kampus kita akan mampu menciptakan pahlawan-pahlawannya. Telah tiba saatnya bagi lembaga ini untuk lebih menunjukkan siapa dirinya sebenarnya setelah lama terkungkung dalam paradigma ketidakkuasaan dan ketidakmauan. Bukankah ada pahlawan di tiap masanya? Kader-kader inilah pahlawannya. Potongan zaman telah memilihnya untuk berkontribusi dalam panggungnya.
Adalah sangat tidak bertanggung jawab manakala suksesi meninggalkan penggantinya tanpa bekal memadai. Atau terkesan seadanya dalam proses penyiapan para penggantinya. Jika demikian, berarti suksesi telah gagal. Ia hanya berhasil menempatkan orang baru dalam tatanan lembaga formal kampus. Orang-orang yang tidak memahami untuk apa ia berada di sana.