Membiasakan Mempersiapkan Diri
Kondisi negeri ini sedang dalam ujian yang begitu berat. Berbagai pemasalahan datang silih berganti. Ada banyak orang yang berpendapat tentang peristiwa-peristiwa itu. Di antara mereka ada yang berkata bahwa inilah ujian Allah terhadap bangsa ini supaya bisa bangkit dari keterpurukan. Setelah sekian lama berkubang dalam lautan krisis sejak moneter kita hancur lebur, inilah momentumnya untuk menyatukan komponen bangsa, bersama-sama menyatukan pikiran untuk memperoleh solusi terbaik. Namun demikian, tidak sedikit yang berpendapat bahwa Allah sedang marah karena bangsa ini terlalu banyak berbuat dzolim. Kemaksiatan dilegalkan, rakyat disengsarakan, bahkan kemusyrikan pun dijadikan aset daerah dengan dalih pelestarian budaya. Belum lagi eksploitasi alam yang tidak mengindahkan lingkungan. Dengan demikian, kedzoliman-kedzoliman tersebut efeknya terakumulasikan menjadi musibah yang menimpa kita saat ini.
Kasus lumpur Sidoarjo adalah salah satu dari bencana kekinian yang belum tertuntaskan. Apalagi, jika kita menengok kembali ke belakang, masih terpatri dalam benak kita suara jerit tangis, tumpukan mayat, dan hancur leburnya Aceh karena tsunami. Belum tuntas tahap pemulihannya, negeri ini kembali berduka dengan gempa Yogyakarta. Namun, perlu disadari ternyata berita-berita yang menjadi headline media hanya bencana-bencana besar yang menghancurkan infrastruktur fisik. Padahal, di negeri ini masih begitu banyak bencana yang efeknya jauh lebih besar karena menghancurkan masa depan generasi bangsa. Negeri ini terancam kehilangan generasinya ketika narkoba telah mencandu anak-anak SD, gedung-gedung sekolah terbiarkan roboh, atau sekolah ternyata hanya menjadi mimpi panjang bagi rakyat bawah karena mahalnya buku dan biaya sekolah.
Dalam skala kecil, peristiwa-peristiwa itu seharusnya menjadi bahan refleksi bagi kita. Seringkali kita merasa bahwa hidup ini terasa sangat berat. Dengan aktivitas kuliah yang sudah menumpuk, kita masih terbebani dengan tugas-tugas kuliah. Bagi yang aktif di organisasi, mereka harus menyisihkan waktu untuk agenda rapat dan kepanitiaan. Belum lagi problem dengan teman, di rumah, dan di lingkungan kos. Kompleksitas hidup itu seringkali kita hadapi dengan keluhan. Jadi, semakin berat yang kita hadapi, semakin sering kita berbagi keluhan dengan teman, meratapi nasib diri yang tampaknya begitu malang.
Padahal, nasib kita masih lebih beruntung, bahkan jauh lebih beruntung, dibandingkan negara kita saat ini dengan berbagai musibah yang telah disebutkan. Kita jarang berusaha untuk menyadarinya. Pembangunan kesadaran ini memang belum menjadi kultur karena terbentur dengan paradigma lama yang telah mengakar. Kita sering kewalahan menghadapi masalah demi masalah karena kita memang sengaja tidak mempersiapkan diri untuk menghadapinya. Bukankah Allah sudah mengingatkan kita dalam firman-Nya untuk mempersiapkan diri dengan apa saja yang kita miliki, untuk menghadapi tantangan yang ada di depan kita, apapun itu (Al Anfal: 60)? Supaya tidak terkena depresi berat, bentuklah mental yang kuat dengan sholat. Agar kita memenangi pertandingan sepakbola, tempalah fisik secara rutin dengan berlari pagi atau berlatih passing. Menghadapi UTS juga harus kita persiapkan dengan belajar rutin jauh-jauh hari dan menjaga kesehatan. Untuk menghadapi konflik dengan keluarga, teman, dan lingkungan, bisa kita bekali diri dengan intens berinteraksi untuk menambah pemahaman kita tentang karakter orang lain. Peluang masalah akan terselesaikan jauh lebih optimal, otomatis akan jauh lebih besar jika kita sudah mempersiapkan diri menghadapinya, bukan?
Tentunya bukan langkah solutif apabila kita hanya bisa mengutuk, menghujat, atau meratapi tiap masalah. Adalah tindakan sia-sia jika sekarang kita masih berkeluh kesah tanpa kongkret mengatasi. Tak sesulit yang kita bayangkan untuk menjadi lebih baik. Dengan mulai mempersiapkan diri untuk menghadapi masalah, pribadi yang siap dengan solusi-solusi tepat dan kreatif untuk tiap problem akan terbentuk.