Membudayakan Semangat Entrepreneurship Mahasiswa
Krisis moneter yang menimpa bangsa Indonesia sejak bulan Agustus 1997 membuat pondasi ekonomi nasional runtuh. Ambruknya ekonomi nasional mendorong perusahaan memutuskan hubungan pekerjanya, inflasi yang meningkat, dan berbagai permasalahan lainnya. Semakin banyaknya jumlah penganggur berarti semakin meningkatnya jumlah penduduk miskin. Hal ini tercermin dengan adanya 80.000.000 penduduk miskin pada tahun 1999.
Ternyata krisis ekonomi di Indonesia belum bisa teratasi seluruhnya. Jumlah pengangguran bertambah banyak. Laporan resmi dari Badan Pusat Statistik menyatakan pada Februari 2005 terdapat 10,3 % pengangguran dari angkatan kerja sebanyak 105,8 juta jiwa. Persentase ini lebih tinggi dibandingkan bulan Agustus 2004 sebesar 9,9 % dari angkatan kerja sebanyak 104 juta jiwa.
Bahkan, tim peneliti prospek perekonomian Indonesia 2007 Pusat Penelitian Ekonomi LIPI memprediksi pada tahun 2007 jumlah pengangguran meningkat hingga 12,6 juta jiwa. Angka tersebut berasal dari 1,6 juta penganggur baru ditambah dengan 11 juta penganggur yang telah ada. Jumlah penganggur yang meningkat merupakan indikator meningkatnya pula angka kemiskinan. Berdasarkan data tersebut, jumlah penduduk miskin diperkirakan mencapai 45,7 juta jiwa.
Banyaknya jumlah penganggur ini salah satunya disebabkan oleh minimnya jiwa entrepreneurship masyarakat. Status sosial seseorang dianggap lebih tinggi ketika bekerja sebagai pegawai kantoran. Pekerja di luar kantor dianggap masyarakat kelas dua atau rendah martabatnya. Mahasiswa, sebagai calon lulusan perguruan tinggi, juga memiliki paradigma yang sama. Para mahasiswa ini lebih banyak berorientasi untuk bekerja di industri-industri besar atau instansi-instansi pemerintahan. Aspek keamanan dalam penghasilan dan tiadanya risiko rugi merupakan beberapa alasan mahasiswa memilih sebagai pekerja.
Kondisi ini didukung pula oleh minimnya kebijakan perguruan tinggi dalam mendorong peserta didiknya untuk lebih mengembangkan jiwa entrepreneurship. Pendidikan di perguruan tinggi lebih banyak menghasilkan lulusan perguruan pekerja berkualifikasi akademis tinggi. Padahal, yang seharusnya dibutuhkan adalah lulusan berjiwa entrepreneurship yang dengan penguasaan sains dan teknologinya berusaha secara mandiri dalam menyejahterakan diri dan masyarakatnya.
Jiwa entrepreneurship yang lemah pada mahasiswa memerlukan sebuah penanganan strategis. Langkah-langkah strategis tersebut harus bersifat holistik. Artinya memuat seluruh aspek teoritis dan praktis. Dengan demikian, mahasiswa dapat belajar total mengerahkan seluruh potensi yang dimilikinya untuk menjadi seorang entrepeneur. Mereka tidak lagi terbatas pada mengandalkan kesempatan yang datang kepada dirinya. Akan tetapi, menciptakan sendiri kesempatan untuk maju dan berkarya tersebut.
Entrepreneurship bagi mahasiswa dimaksudkan untuk membangun jiwa kemandirian. Mahasiswa diarahkan untuk berkreasi merintis usaha sejak di bangku kuliah. Dalam proses perintisan tersebut tentunya ada proses belajar secara nyata. Berbagai pengalaman dalam mengelola inilah yang dibutuhkan nantinya setelah lulus dari kampus. Mereka akan lebih siap dalam menghadapi persaingan hidup, khususnya dalam bidang ekonomi. Tidak perlu lagi bergantung kepada panggilan lamaran dari perusahaan karena telah memiliki usaha yang mampu mencukupi kebutuhan hidupnya.
Sebagai awalan, usaha yang dilakukan oleh mahasiswa mungkin saja berskala usaha kecil atau menengah. Akan tetapi, karena memiliki semangat entrepreneurship, keinginan maju dan jiwa inovasi yang tinggi, usaha tersebut dapat berubah skalanya menjadi usaha besar. Demikianlah siklus yang diharapkan. Muncul usaha-usaha berskala besar dari usaha kecil. Seiring dengan itu, usaha-usaha kecil dari kreativitas mahasiswa juga tumbuh. Jika ini terjadi, berarti penyerapan tenaga kerja baru. Berkurangnya pengangguran dapat berpengaruh terhadap ekonomi makro seperti peningkatan daya beli dan kesejahteraan masyarakat. Hal ini tentunya sesuai dengan apa yang telah diamanatkan oleh konstitusi yang mencanangkan usaha pencerdasan bangsa seiring dengan usaha memajukan kesejahteraan bangsa.
Oleh karena itulah, mulai saat ini harus dilakukan beberapa langkah untuk membudayakan semangat entrepreneurship kepada mahasiswa. Langkah tersebut terklasifikasikan menjadi strategi internal dan eksternal. Strategi internal adalah usaha untuk menanamkan, mendorong, dan menyadarkan mahasiswa untuk berwirausaha yang dilakukan oleh perguruan tinggi bagi mahasiswanya. Strategi ini diimplementasikan ke dalam dua poin kongkret. Pertama, memasukkan mata kuliah entrepreneurship sebagai mata kuliah wajib di setiap program studi. Materi yang disampaikan terdiri dari 35% teori dan 65% praktek. Persentase ini disebabkan melatih seseorang menjadi entrepreneur tidak banyak memerlukan teori. Akan tetapi, harus divisualisasikan sebagai sarana pelatihan. Hal ini jauh lebih efektif karena pengujian apakah seorang berjiwa entrepreneur atau tidak, bukan dihadapkan dengan menyelesaikan sejumlah pertanyaan uraian.
Berikutnya adalah dengan mendirikan lembaga pelatihan dan pembinaan entrepreneurship. Statusnya resmi karena dikeluarkan berdasarkan keputusan rektor. Sesuai dengan namanya, tugas lembaga ini adalah memberikan pelatihan kepada mahasiswa yang tertarik membuka usaha. Supaya efektif, lembaga ini diisi dengan orang-orang yang memiliki kompetensi di tiap jurusan atau fakultas yang ada di perguruan tinggi tersebut. Selain itu, lembaga ini juga berperan sebagai unit konsultasi dalam membina unit-unit usaha dari mahasiswa yang telah ada. Peran lainnya adalah mencarikan jaringan yang sesuai dengan usaha, seperti jaringan modal, tokoh, atau lainnya.
Strategi eksternal dilakukan oleh pihak di luar kampus dengan tujuan menanamkan, mendorong, dan menyadarkan mahasiswa untuk berwirausaha. Strategi ini diimplementasikan ke dalam tiga poin kongkret. Pertama, menyemarakkan acara seminar dan training bertemakan wirausaha bagi mahasiswa. Pemerintah melalui Kemenkop & UKM dapat memfasilitasi terselenggaranya acara tersebut. Untuk menarik minat peserta, sebaiknya acara ini tidak dikenakan biaya. Seusai acara seminar dan training tersebut, pemerintah mendata dan memfasilitasi peserta untuk bisa melanjutkan ke tahap membuka usaha, realisasi dari seminar dan training.
Berikutnya dengan menggalakkan lomba bisnis. Penyelenggara kegiatan ini tidak harus dari pemerintah, tetapi dapat juga dari perusahaan atau kampus. Lomba ini meminta pesertanya untuk membuat sebuah rencana bisnis. Kemudian, dari rencana tersebut diminta untuk direalisasikan dengan modal dari panitia. Penentuan pemenang berdasarkan kualitas rencana bisnisnya dan aplikasinya di lapangan. Kegiatan lomba semacam ini penting untuk membiasakan mahasiswa berkompetisi karena dalam dunia usaha sebenarnya, persaingan sangatlah ketat. Lomba pun penting untuk menarik minat mahasiswa yang ingin berusaha, tetapi tidak memiliki modal. Dengan dana dari panitia, peserta lomba mendapatkan dua manfaat sekaligus. Pertama adalah pembelajaran usaha dan perolehan dana untuk modal rencana usahanya.
Terakhir dengan mengintensifkan penyediaan bantuan modal untuk usaha. Seringkali mahasiswa terbentur pada permasalahan ini ketika mereka ingin membuka usaha. Penyediaan modal ini bisa dilakukan oleh pihak bank bekerja sama dengan universitas untuk meminjamkan dana berbunga sangat rendah dan tanpa jaminan. Pilihan bantuan dananya pun bervariasi disesuaikan dengan jenis usaha dan kemampuan finansial mahasiswa.
Selama ini usaha-usaha yang digalakkan mahasiswa lebih bersifat mandiri. Belum ada sistem yang memfasilitasi jiwa entrepreneurship tersebut. Padahal, potensi ini menyimpan masa depan yang lebih cemerlang. Strategi-strategi tersebut adalah sebagian dari usaha-usaha membudayakan entrepreneurship mahasiswa. Kontribusi konkret dari berbagai pihak tentunya akan semakin mempercepat terbentuknya mahasiswa-mahasiswa berjiwa pengusaha untuk membangun ekonomi bangsa.