Artikel Juli 07

RT/RW-Net: Solusi Murah dan Massif


Sekitar tahun 1996 para mahasiswa di Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) melakukan sesuatu yang cukup unik. Berbekal walkie talkie di VHF band 2 meter dengan kecepatan 1200 bps, mereka menyambungkan kos-kosan dan beberapa rumah di sekitar kos-kosan ke kampus UMM yang pada saat itu terhubung ke jaringan AI3 Indonesia melalui GlobalNet di Malang dengan gateway Internet di ITB. Inilah awal sejarah RT/RW-net, sebuah sistem untuk men-share akses internet secara bersama-sama dalam suatu komunitas tertentu.

Konsep sederhana ini kemudian dicoba untuk diimplementasikan dalam skala yang lebih luas lagi. Penggagasnya adalah Michael Sunggiardi. Perumahannya di Bogor dijadikan sebagai lahan garapannya sekitar tahun 2000. Namun, sayangnya warga di perumahan tidak cukup antusias memberikan respon karena merasa tidak membutuhkan internet 24 jam di rumahnya.

RT/RW-net mematahkan asumsi umum bahwa internet hanyalah ISP dan warung internet (warnet). Belum pernah terpikirkan sebelumnya bahwa dalam suatu kompleks perumahan atau perkantoran dapat saling terkoneksikan satu dengan lainnya lalu mengakses internet secara bersama. Kelebihan RT/RW-net adalah infrastruktur sistemnya yang relatif sangat sederhana. Bayangkan saja, untuk membuat sebuah jaringan yang cukup besar dalam suatu kompleks perumahan misalnya, kita hanya memerlukan computer client, gateway, hub LAN, dan koneksi internet. Biasanya untuk koneksi internet yang aksesnya cepat dipilih menggunakan wireless LAN (WLAN). Kecepatan aksesnya dapat mencapai 11 Mbps. Selain itu, biaya RT/RW-net relatif murah. Dengan dukungan akses internet 24 jam, tiap rumah hanya mengeluarkan Rp 150.000 s.d. Rp 300.000,00 per bulan atau Rp 200,00 s.d. Rp 400,00 per jamnya.

Namun sangat disayangkan, sistem yang sangat baik ini ternyata merupakan sistem ilegal di Indonesia. Berdasarkan UU Nomor 36 Tahun 1999, hanya operator telekomunikasi yang berhak membangun sebuah infrastruktur telekomunikasi. Nyata-nyata aturan ini hanya mendukung korporasi besar untuk bergerak membangun IT di Indonesia. Padahal, RT/RW-net telah membuktikan bahwa dengan peralatan seadanya dan dilakukan oleh siapapun, bahkan dengan Hub bekas sekalipun, dapat memberikan manfaat bagi orang banyak.

Hambatan lainnya adalah masih adanya pungutan bagi pengguna frekuensi 5-5,8 Ghz, band yang digunakan dalam mengimplementasikan RT/RW-net. Bagi pihak yang ingin menggunakannya harus membayar setoran antara 20-25 juta/tahun/node kepada pemerintah. Itupun hanya dapat dilakukan oleh mereka yang mempunyai ijin ISP/operator telekomunikasi. Akibatnya, rakyat kecil yang juga bermodal kecil tidak mungkin memperoleh ijin frekuensi tersebut. Padahal, di luar negeri frekuensi ini dibebaskan dari izin frekuensi.Jika RT/RW-net ini kemudian dikaitkan dengan cita-cita pemerintah meningkatkan kesadaran IT di negeri ini, tampak adanya kontradiksi karena di sisi lain pemerintah memberlakukan constraint terhadap penggunaan band frekuensi yang digunakan untuk RT/RW-net ini. Sistem ini sedang berkembang dengan sangat baik. Di Bandung beberapa kos-kosan mengembangkan “Kos-kosan Net” di bawah RT/RW-net dan menarik sekitar Rp 50.000,00/bulan untuk setiap anak kos yang menggunakan dengan akses internet 24 jam. Dengan cara ini internet menjadi sangat terjangkau untuk para mahasiswa. Di beberapa daerah RT/RW-net sudah terimplementasi seperti di Komplek Vila Nusa Indah Bekasi dan Komplek Griya Melati Bubulak.

Jika pemerintah memang benar-benar concern terhadap rakyat kecil dan perkembangan IT di Indonesia, maka berbagai regulasi yang ada harus mendukung ke arah tersebut. Jangan sampai pemerintah hanya beretorika dengan manisnya kata-kata, tetapi arah geraknya berlawanan arah dengan apa yang diucapkannya.

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s