Kesalehan*
Dalam salah satu kumpulan cerpen sosio religi karya AA Navis, ada sebuah kisah menarik yang terdapat di salah satu cerpennya yang berjudul Robohnya Surau Kami. Haji Saleh, tokoh ilustratif dalam cerpen tersebut, diceritakan masuk neraka, meskipun pekerjaan sehari-harinya beribadah di masjid. Ia melakukan semua ibadahnya itu dengan tekun. Maka Haji Soleh yakin bahwa pahala ibadahnya itu akan mengantarkannya ke surga. Akan tetapi, ketika yaumil akhir tiba, Haji Soleh diputuskan masuk neraka oleh Allah SWT. Tentu saja, Haji Soleh tidak terima. Bagaimana mungkin dia bisa masuk neraka? Padahal di dunia, track record ibadahnya bisa dibilang luar biasa. Maka, proteslah dia kepada Allah, memperkarakan keputusan yang dirasanya tidak adil itu.
Mendengar keberatan yang diajukan Haji Soleh, Allah Yang Maha Adil itu pun menyampaikan alasan-Nya, “Kamu tinggal di tanah Indonesia yang mahakaya raya, tapi kamu biarkan dirimu melarat, hingga anak cucumu teraniaya semua. Aku beri kau negeri yang kaya raya, tapi kau malas. Kau lebih suka beribadah saja, karena beribadah tidak mengeluarkan peluh, tidak membanting tulang”.
Cuplikan kisah tersebut bisa jadi menggambarkan kondisi riil sebagian besar masyarakat muslim Indonesia yang masih terjebak dalam bias keliru pemahaman agama dan ibadah. Masyarakat hanya memaknai kesalehan sebatas kesalehan ritual, jenis kesalehan yang diukur berdasarkan legal formal ajaran agama. Seberapa sering shalatnya, seberapa lama dzikirnya, mungkin juga seberapa sering pergi hajinya, Ibadah hanya dianggap sebagai ritualisasi, gerak fisik semata, atau tradisi rutin yang terus berulang.
Kesalahan menginterpretasikan ini lalu menimbulkan implikasi yang begitu dahsyatnya. Dengan jumlah warga yang mengaku beragama Islam lebih dari dua pertiganya, negara ini dinobatkan ke dalam kelompk negara terkorup terbesar di dunia. Meskipun bangunan masjid megah yang berdiri tidak sedikit jumlahnya dan lantunan tilawah menggema dengan lantang melalui pengeras suaranya, kriminalitas menjadi menu utama berita tiap harinya. Walaupun jamaah haji yang diberangkatkan lebih dari 200.000 orang per tahunnya, jumlah penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan masih begitu banyak jumlahnya.
Ketika lantas kita menuduh Barat dan kroni-kroninya sebagai “bapak moyangnya” sekulerisasi karena berorientasi pada kehidupan dunia dengan melupakan akhirat, berarti pula Haji Soleh dalam cerita ini, maupun Haji Soleh-Haji Soleh lainnya yang muncul di dunia nyata, juga sekuler tulen karena hanya memprioritaskan kehidupan akhirat dirinya tanpa memperdulikan realitas sosial di sekelilingnya.
Islam bukanlah agama individual karena ia datang untuk menjadi rahmat bagi semesta alam. Agama ini mengedepankan adanya tawazun (keseimbangan) antara kebutuhan pribadi dan kemaslahatan sosial. Islam tidak bisa didikotomisasikan, apalagi diparsialisasikan. Melakukan kedua hal tersebut berarti tidak mengakui Islam sebagai ajaran yang syamil, kamil, dan mutakamil.
Dalam sebuah hadits dikisahkan ada seorang sahabat yang memuji kesalehan seseorang di depan Rasulullah. Lalu Rasul bertanya mengapa sahabat itu menyebutnya saleh. Lalu ia pun menjawab, “Ketika saya baru masuk masjid ini, aku melihatnya sedang shalat dengan khusyuk. Dan ketika aku pulang, dia masih saja khusyuk berdoa.”. Kata Rasul, “Lantas, siapa yang memberinya makan dan minum?” Sahabat itu menjawab, “Kakaknyalah yang memberinya makan dan minum”. “Kakaknya itulah yang layak disebut saleh”, sahut Rasul.
Sebuah dimensi baru tentang makna kesalehan menjadi lebih tepat ketika ditempatkan pada tindakan nyata. Lebih jelasnya ketika terlihat dampak nyatanya dalam konteks sosial kita. Tentu saja, hanya kesalehan sosial yang dapat dikur dengan parameter itu. Kesalehan ritual lantas bukan menjadi sesuatu yang salah. Bahkan, ia adalah syarat utama bagi seorang muslim untuk menunjukkan identitas kemuslimannya. Namun sayang, banyak orang kemudian terhenti pada level ini. Padahal, saleh ritual adalah tahap awal dari saleh sosial.
Ruhnya shalat berarti kita mampu menghentikan kekejian dan kemungkaran di lingkungan kita. Kalau di kampung kita, masih banyak anak sekolah yang suka membolos dan nongkrong di jalanan, berarti shalat kita baru sampai pada saleh ritual.
Esensinya zakat, infak, dan shadaqoh artinya tingkat kepekaan dan kepedulian sosial kita berada pada level yang sangat sensitif. Jika lantas masih ada tetangga kanan kiri atau depan belakang yang kelaparan atau anaknya putus sekolah, perlu dipertanyakan kembali efek sedalam mana pemahaman kita tentang zakat, infak dan shadaqoh itu.
Puasa itu dikatakan berhasil jika kita bisa mengerem perilaku nafsu kita. Kalau ternyata di bulan lainnya, kita masih menggunjing, dengki, dan mengambil sesuatu yang bukan hak kita, maka Ramadhan hanya sebagai cuti paruh waktu dari kesewenang-wenangan kita.
Kesalehan ritual dan sosial bukanlah kemestian yang perlu ditawar. Secara normatif, keduanya haruslah terintegrasi dalam diri setiap muslim. Artinya, secara ritual kita haruslah saleh, secara sosial pun kita mestinya saleh. Jika kesalehan ritual kemudian kita tinggalkan, amalan kita akan kehilangan ruhnya. Lalu, bila kesalehan sosial yang kita pinggirkan, nasib kita bisa jadi sama seperti Haji Soleh. Merasa dirinya layak ke surga, tetapi malah masuk ke neraka akhirnya.
*dimuat dalam buletin LemTaqwa, milik Rohis Fasilkom, edisi Desember 2007
Waah robohnya surau kami itu tugas bhs Indonesia ane pas sma.
Bener kata bang afif, ibadah hanya ritual aja bukan tindakan nyata yang seperti abang bilang.
~mampir bang ke blog ane
Bangga sekali bisa membaca habis sebuah narasi dengan tajuk ‘Kesalehan’ ini. Sang penulis tampaknya tahu benar bagaimana menyorot, walau dalam medium terbatas, sebuah realitas yang diyakini sebagai sebuah kebenaran oleh para penganut beragama (bukan muslim saja). Namun penulis membenturkan beban untuk beritual tadi dengan kenyataan yang terlampau penting untuk tidak dilewati begitu saja…
Sebuah pemikiran yang suatu saat mungkin mencerahkan suatu zaman. Seperti ia mencerahkanku pada hari ini…
terima kasih mas roy sudah mau singgah di blog saya ini….
oh ya, kritikannya terima kasih juga….. hampir lupa….. he..he…he..
Sama2, Mas Akhdaafif (Ini nama Anda? Bagaimana menyebutkannya ya?).
Apa kesibukkan Anda?
Bisa hub saya di jagoanpatas@yahoo.co.id
Panggil saja Afif, Mas!
Saya mahasiswa Ilmu Komputer UI, jadi kesibukan saya adalah kuliah dan ngerjain tugas serta seabreg kegiatan lainnya, he…he…
tulisannya bagus fif..
terima kasih mbak hening… đŸ™‚
terima kasih juga sudi mampir ke blog saya…