Hakikat Syukur dan Sabar
a
Rasulullah SAW kagum kepada orang mu’min. Golongan ini, kata Rasul, memiliki dua keistimewaan. Ketika karunia datang kepadanya, mereka tidak lantas pongah dan membusungkan dada. Yang dilakukannya adalah mensyukurinya. Ungkapan syukur yang tidak terbatas lisan, tetapi juga melibatkan rasa dan raganya. Maka, Allah pun menambahkan karunia-Nya kepada mereka. Keistimewaan kedua dari orang-orang beriman adalah respon sabar jika musibah, ujian, atau cobaan menerpanya. Mereka yakin sebenar-benarnya bahwa sesungguhnya segala sesuatu milik Allah SWT dan akan kembali kepada-Nya. Bagi mereka, dunia dan segala isinya cukup diletakkan di tangan sehingga itu tidak mengganggu hatinya.
Memaknai kesyukuran dan kesabaran memang harus dilihat dalam perspektif yang sangat luas. Pemaknaan kita terhadap makna mensyukuri umumnya terbatas dalam tataran segala sesuatu yang membuat kita merasa gembira, senang, ataupun nyaman. Adapun hal-hal yang membuat kita menjadi sedih, kehilangan, atau kecewa kita persepsikan sebagai sesuatu yang harus direspon dengan kesabaran.
Paradigma berpikir seperti ini lantas membuat kita merasa menjadi sok tahu dengan kondisi kita saat ini. Merasa yakin bahwa kebahagiaan ini adalah karunia Allah atas segala amal yang kita perbuat sebelumnya. Atau juga kita merasa kesedihan ini menjadi bukti bahwa Rabb tidak menyayangi kita dengan membiarkan kita terpuruk dalam romansa kekecewaan.
Sabar dan syukur bukanlah sisi-sisi dari sekeping mata uang. Ketika satu sisi muncul, maka sisi yang lainnya tertutup. Ketika ada suatu peristiwa yang menimpa diri kita, seolah-olah kita hanya diberikan satu pilihan, bersabar atau bersyukur. Keliru besar apabila kita memiliki pola pikir seperti itu. Oleh karena itulah, agama tetap menganjurkan kita untuk bersabar baik ketika kita miskin ataupun kaya. Dalam konteks yang lain, Islam juga tetap memotivasi umatnya untuk selalu bersabar dalam menghadapi ujian dan beribadah.
Konteks bersabar saat miskin dan bersyukur saat kaya mudah dipahami dalam perspektif berpikir masyarakat umum. Akan tetapi, seringkali kita lupa bahwa dalam posisi kaya pun seharusnya kita bersabar. Sabar dalam kondisi kaya memiliki makna bahwa pemilik harta itu mampu menjaga hartanya supaya dapat dikelola dan dipergunakan bukan pada hal-hal yang tidak diridhoi oleh Allah SWT.
Pada ujian kemiskinan, kesabaran acapkali lebih mudah untuk direalisasikan. Ini karena dalam konteks kemiskinan, ketiadaan harta membuat seseorang lebih sedikit memiliki pilihan dalam menggunakan hartanya. Beda halnya bagi orang kaya. Mereka memiliki lebih banyak pilihan dalam membelanjakan hartanya. Oleh karena itulah, ketika kesabaran tidak terintegrasi dalam jiwanya, menjadi bumeranglah karunia titipan harta itu. Dan tidak sedikit orang-orang gagal bersabar dalam kelebihan harta. Bahkan tragisnya, mereka malah terjebak dalam perangkap hina kekayaan.
Demikian pula dalam konteks beribadah. Sabar dalam beribadah mengharuskan kita untuk selalu beristiqomah melaksanakannya, menjaga keikhlasan, serta tidak berhenti untuk memahami makna yang terkandung di balik ritual ibadah tersebut. Ketidaksabaran dalam beribadah akan memunculkan ketergesaan dan mereduksi penghayatan pada proses ibadah yang dilakukan. Itulah mengapa Rasul pernah mengingatkan akan munculnya orang-orang yang intensitas membaca Al Qurannya luar biasa, tetapi bacaan tersebut tercekat di tenggorokan mereka. Hal ini disebabkan mereka tidak sabar untuk memahami apa yang dibacanya.
Dalam konteks yang lebih luas, kondisi itulah yang sedang terjadi dalam komunitas masyarakat muslim, khususnya di Indonesia. Begitu paradoksnya, banyaknya penduduk muslim negeri ini ternyata tidak diiringi dengan kualitas ibadah yang dilakukan. Beberapa indikasi minimnya kualitas tersebut dapat dilihat dari maraknya korupsi dan orang-orang yang terdzolimi di negeri ini. Begitu mudahnya pula masyarakat menipu saudaranya yang lain. Bahkan, tidak segan membunuh untuk hal-hal sepele.
Permasalahan yang pada umumnya menimpa umat ini adalah ketidakmampuan mengelola sabar dan syukur sehingga dapat terintegrasikan dalam pola pikirnya. Menjadi orang yang mampu mengelola keduanya harus diakui tidaklah mudah. Kuncinya adalah dengan membiasakan diri kita untuk menerapkan keduanya dalam aktivitas keseharian. Dalam konteks kita, bersabar dan bersyukur bisa dilatih dalam kuliah, melaksanakan tugas organisasi, menaati nasihar orang tua, dan berbagai hal lainnya.
Sejatinya, Islam telah menyediakan sarana untuk melatih rasa syukur dan sabar. Keduanya dapat diasah dengan shalat dan shaum. Shalat merupakan momen yang mengantarkan kita kepada kedekatan hakiki dengan Allah. Inilah sarana komunikasi vertikal di mana tidak ada dinding penghalang antara makhluk dengan penciptanya. Adapun shaum akan membangun karakter syukur dengan munculnya rasa qanaah terhadap kondisi saat ini yang masih lebih beruntung dibandingkan jutaan orang papa dan lapar. Shaum juga akan menata kembali kesabaran kita karena esensi shaum adalah menahan diri. Menahan diri dari berbagai belenggu ego duniawi dan dari nafsu batiniah yang tidak seimbang. Jika kita berhasil menempa sabar dan syukur melalui dua mekanisme ini, kedua sifat tersebut akan terbingkai secara otomatis dalam pola pikir kita.
Syukur ibarat aspek ekspansif dalam garis kehidupan dan sabar adalah aspek defensifnya. Keduanya ibarat rahim seorang wanita. Dari syukurlah akan lahir sikap qanaah, tawadhu, dan keberanian. Adapun dari sabar akan melahirkan kesantunan, kelembutan, kesungguhan, serta ketenangan. Keduanya adalah entitas berharga yang harus kita jaga jika sudah dimiliki. Jika kita belum memilikinya, menjadi tugas kita untuk menumbuhkannya dengan mekanisme yang semestinya.
*dimuat dalam buletin LemTaqwa LDF Fasilkom UI
yup2.. thx dah ngingetin (^_^)V
sama2 mbak fitri, bukankah memang kita hidup untuk saling mengingatkan dalam kebenaran dan kesabaran?
heh.. sembarangan manggil mbak!!jelas2 ai lbh muda dari yu..hehehe…
(g penting bgt komennya,hehe… :-p)
bener nih, kalo ngasih komen yang penting dong!! masa ngisi komen kayak gitu!! hwahaha……
2 Januari 2008,di era sprti ini msh jg ada sbuah prkawinan yg didasari oleh perjodohan yg knyataannya stelah itu hnya pihak wanita yg sllu dikalahkan dan mnjdi korban.Pengabdian utk mnjdi istri yg baik hnya sia2 belaka dan berakhir mnjdi kisah yg tragis.Tp Allah SWT maha adil dan segala2Nya.Katakan tidak wahai kaum wanita agar menolak sgala bentuk perjodohan krn harta,pangkat dan jabatan itu tdk mnjamin sbuah kebahagiaan.