Peduli Apa dengan Pornografi!!
Kalau saya ditanya apakah senang kalau melihat wanita setengah bugil, misalnya cuma berpakaian bikini seperti yang umum terlihat di pantai-pantai, dengan penuh semangat, hati dan kepala saya akan mengiyakan tanda sepakat. Tak perlu berkilah ataupun membantah karena memang kenyataannya naluri kelelakian saya berujar demikian. Apalagi kalau ada di antara wanita-wanita itu yang mau menemani saya jalan-jalan sebentar di mall. Betapa semakin girang bukan main hati saya ini. Mungkin sampai seminggu setelahnya, tiap malam saya akan memimpikan wajahnya.
Demikian juga dengan judi, togel, atau apapun yang secara substantif bermakna seperti itu. Judi sama menariknya sebagaimana wanita karena judi adalah gunung harapan, bukit angan-angan, dan juga mimpi indah masa depan. Di tengah himpitan kepenatan hidup sekarang ini, entitas judi laksana obat mujarab. Dibandingkan mendengarkan luapan janji petinggi negeri yang tak terbukti, betapa sulitnya mencari penghidupan yang layak, serta repotnya mencari biaya untuk membeli baju sekolah anak-anak, ikut andil berjudi membuka harapan solusi dari berbagai problem tersebut. Dan selaku manusia, mari kita jujur pada masing-masing kita sendiri, bukankah harapan itu seringkali lebih menyenangkan dibandingkan kenyataan?
Apalagi tentang khamr (minuman memabukkan), ganja, ekstasi, sabu-sabu, pil koplo. Segala macamnya adalah pelarian dari berbagai nasib buruk kaum papa, golongan marginal, serta ribuan anak-anak yang broken home dari keluarganya. Saat mabuk, mereka merasa telah berada di alam lain. Seolah-olah tetek bengek yang membebani kepalanya itu terpinggirkan, entah di kolong langit sebelah mana, untuk sementara waktu. Dan kemudian muncul perasaan lega, free, merdeka meskipun di dalam relung sanubarinya mereka mengimani sepenuhnya bahwa setelah efek obat-obatan itu habis, mereka akan kembali ke nerakanya. Nyatanya mereka tetap apatis.
Lantas mengapa agama kemudian melarang sesuatu yang menyenangkan seperti itu bagi manusia? Karena agama memang tidak bermain dalam tataran senang ataupun benci. Suka atau tidak suka. Agama adalah kajian teologis yang membingkai manusia dalam kerangka baik dan buruk. Sementara alat ukur kesenangan manusia sendiri adalah nafsu, bukan nilai norma, kultur sosial, boro-boro aturan Ilahiah. Dan di dalam dunia manusia, sesuatu yang menyenangkan nafsu acapkali berada dalam kuadran ketidakbaikan. Begitu pula sebaliknya.
Menjadi produser film porno itu sangat menguntungkan. Tak perlu keluar banyak ongkos untuk kostum dan make-up artisnya, tapi jaminannya berpuluh-puluh lipat keuntungan. Apalagi bagi redaksi, wartawan, agen, artis hingga loper dari majalah, koran dan tabloid porno. Begitu pula aksi goyang ngebor, ngecor, kayang, sanca adalah aktivitas yang bisa menghibur orang sekaligus cara instan memperoleh popularitas dan imbalan yang tinggi.
Jangan tanyakan kepada mereka tentang konsekuensi aktivitas itu dengan potensi perusakan mentalitas anak bangsa atau generasi penerus masa depan negeri ini. Itu urusan keenam ratus lima puluh tiga. Bisa jadi malah sekedar onggokan kertas yang sudah digulung-gulung lantas ditendang-tendang atau dilemparkan ke tong sampah dengan gaya lay up shoot ala Michael Jordan atau Tim Duncan. Prioritas yang paling utama tentu saja seberapa gepok rupiah yang bisa masuk ke kantong atau rekeningnya di luar negeri.
Mungkin suatu waktu Anda iseng bertanya kepada mereka, “Bukankah kalian-kalian ini adalah orang beragama, yang diperintahkan harus mencintai Tuhan dan Nabi kalian? Kok Anda tidak menaati perintah untuk menjaga aurat dan memuliakan kehormatan wanita?”
“Tentu saja kami mencintai Tuhan dan Nabi kami, tapi mbok ya tolong beri dispensasi kami sedikit saja biar tetap bisa goyang ngebor, bikin majalah ataupun film porno. Cuma itu kok…”, jawab mereka.
* tulisan ini dibuat sebagai kado untuk rekan-rekan yang berjuang untuk meluluskan RUU Pornografi
Dan cukuplah Petunjuk ALLAH dan RasulNya bagi orang-orang beriman….
kado yang sangat special ni dari seorang akhda afif untuk semua kita yang membantu kelancaran RUU P ini.
@nickafdhal: betul sekali… mudah2n bangsa ini bisa selalu mendapat petunjuk dari Allah SWT
@aulia: gimana nih di kampus? ada aksi apa aja kawan? temen2 fuki ngapain?
di kampus masih aman dengan kondisi uts dan tugas2. Fuki seperti biasa, timescedule tetep on progress.
Akhirnya UU P disahkan juga ya.
Sepakat… nice posting
Mas, add link blognya aq ow, he3,,
Mas bagi2 info ttg fasilkom ow maz, YM-nya maz apa?
Akhdaafif, sayang sekali, justru gw menolak RUU APP yg mengindikasikan bnyk kelemahannya. Selain bermuatan politis, bnyk pasal karet, mempersalahkan posisi perempuan (padahal yg salah adalah pengendalian diri kita), juga sekaligus mengabaikan keberadaan warga yg memang tinggal dalam budaya yg sama sekali berbeda dgn apa yg dirancang RUU ini.
Maka itu, dgn terang2 gw menolak dan berdukacita atas disahkannya RUU ini. Apalagi belakangan ruang diskusinya seperti diabaikan dan diburu waktu utk membuat keputusan. Yah, apalagi kalau bukan politisasi?
Kehadiran RUU ini, membuktikan negara terlalu jauh masuk dalam ruang privat warganya. Padahal dalam ruang publik saja, negara belum becus! Kelahiran RUU ini, menunjukkan bahwa negara memang hanya menginginkan homogenitas, bukan heterogen, keberagaman, sebuah pelangi yg menghiasi lembayung Indonesia. Lalu, mau menyalahkan siapa kalau nanti lahir negara Bali, negara Papua, negara separatis lain? Wong mereka diabaikan kok keberadaannya..
Meski berbeda pendapat, kita tetap berteman bukan?
Salam keberagaman!
(Suku beragam, tapi kok sinetron tolol dan musik industrinya seragam semua ya?)
@tofazakie: oke, wis tak link kweh ning blogku… YM-ku pada karo emailku. buka bae ning it’s me ning nduwur 🙂
@roy: tenang aja kawan, biarpun kita beda, kita tetap berkawan lah. masa cuma gara-gara uu pornografi, kita harus musuhan, ancam-ancaman, gontok-gontokan, atau bahkan saling bunuh? cemen amat dong kalo gitu!!! mana pengakuan kedewasaan kita dalam beragama, berbangsa, dan bernegara??
Salam kenal ya, mas…
Pemikiran baru mengenai RUU AP ya….
Very nice….
Hidup di dunia adalah pilihan….
salam kenal juga de’ julisa… bukan pemikiran baru sih, hanya merangkum dari beberapa pendapat yang sudah ada