Layaknya agenda rutin lain dalam keseharian kita, Ujian Nasional (UN) hakekatnya bukan sesuatu yang istimewa dalam sistem pendidikan kita. Sama seperti ketika kita mandi, berangkat kerja, sekolah, mengirim sms, pergi ke mall, atau juga membuka facebook. Yang membuatnya lantas berbeda adalah peserta dan implikasinya. Tiap tahun, yang mengikutinya hampir dipastikan berbeda. Jumlahnya tetap ribuan. Dan mereka menghuni di setiap kolong bernama sekolah.
Istimewanya lagi adalah akibat yang terjadi akibat peristiwa bernama UN tersebut. Ia layaknya algojo, yang menentukan hidup matinya siswa. Di tangannya tergantung jutaan harapan, tak hanya dari siswanya sendiri, tapi juga dari orang tuanya siswa, kakaknya siswa, adiknya siswa, sepupunya siswa, tetangganya siswa, dan jejalan individu lainnya.
Karena itulah, UN menjadi bola panas. Sedemikian panasnya sehingga orang-orang berjubel mengadukan UN ke Mahkamah Konstitusi dan lembaga peradilan. Sekedar untuk meminta keadilan atas ketidakadilannya. Ada pula yang menyerukannya di jalanan dengan mengusung poster dan meneriakkan orasi. Dan ketika fatwa MA keluar untuk meminta pemerintah menghentikannya, pemerintah menganggapnya bisikan daun di lalu lalangnya jalan raya. Demikian pula ketika FPKS dan FPDIP di DPR menyatakan dissenting opinion-nya.
Di sebuah drama Jepang, “Dragon Zakura”, pada akhir cerita sang guru, Sakuragi, memberikan pesan perpisahan kepada murid SMA-nya. “Pada pertanyaan ujian, selalu hanya ada satu jawaban benar. Jika kita tidak bisa menemukannya, berarti kita gagal. Namun, tak demikian halnya dengan hidup. Dalam hidup, ada banyak jawaban benar. Pergi ke universitas setelah SMA itu baik. Menekuni musik, olahraga, ataupun berbuat hal sosial, itu juga benar.”
Selamat menempuh UN……