Gayus hanyalah kerikil dalam mata rantai birokrasi Indonesia. Tentu tak logis jika Gayus dianggap mewakili wajah pegawai birokrasi. Bahkan untuk mewakili pegawai Departemen Keuangan (Depkeu) pun masih tak layak. Orang ini, Gayus, adalah pegawai negeri bukan bergolongan tinggi, tetapi memiliki uang miliaran rupiah, mobil mewah bahkan rumah di kawasan elite. Tentu menjadi tanya besar bagi kita, darimana uang itu diperoleh.
Jujur, saya sendiri tak kaget dengan terkuaknya kasus ini. Sudah menjadi rahasia umum, bahwa pegawai birokrasi, apalagi di Depkeu, sangat rentan dengan suap dan korupsi. Saya tidak ingin mengeneralisir semuanya. Pelakunya memang bukan institusi, melainkan hanya oknum. Saya tak tahu persis berapa jumlahnya, berapa suap yang diterima, apa saja yang dikorupsi. Untuk tahu itu semua, perlu mengumpulkan data dalam waktu yang lama. Dan saya ragu apakah institusi terkait punya itikad baik dengan membuka aibnya. Tak hanya di lingkungan Depkeu saja. Di semua lini birokrasi, praktek semacam ini adalah lumrah dan biasa. Ironis.
Betapa sulitnya memang berkarya di sektor ini. Namun tak lantas muncul pembenaran ikut terjerumus ke dalamnya. Menjadi pelayan masyarakat adalah pengabdian. Bukan sarana mencari harta dan kekayaan. Keliru ketika parameter keberhasilan bekerja di ranah ini adalah jumlah mobil, rumah, motor, atau simpanan rekening yang dimiliki. Sungguh, meskipun Islam mendorong umatnya kaya, bukan dengan jalan itu kekayaan yang akan membuat kita mulia di sisi Allah. Jangankan yang haram, benda syubhat pun diminta oleh Rasul untuk dijauhi (Hadits Arba’in nomor 6)!!
Saya rindu sosok Natsir yang pakaiannya sangat sederhana, sampai-sampai pegawai di kantornya beriuran untuk membelikan sang menterinya itu pakaian yang lebih layak. Saya rindu sosok Hatta, yang tak mampu membeli sepatu Bally, karena tabungannya habis untuk rumah tangganya atau untuk membantu tetangganya. Saya rindu sosok Hamka, yang tak gentar kehilangan posisinya sebagai ketua MUI demi konsisten dengan agamanya. Saya rindu sosok Soedirman, jenderal besar yang mau berjuang di tandu dalam susah dan payah.
Mari kita belajar dari teladan-teladan ini. Supaya pengabdian dan kebersahajaan itu masih ada, menjadi semangat kita, khususnya mereka yang berada di lingkungan birokrasi. Semoga…
Assalamu’alaikum wr.wb., Kaya ne ning Tegal durung ana heboh berita sing carut marut, saling buka aib, akau dadi kelingan Firman Allah: (yaitu) orang-orang yang menyampaikan risalah-risalah Allah, mereka takut kepada-Nya dan mereka tiada merasa takut kepada seorang(pun) selain kepada Allah. Dan cukuplah Allah sebagai Pembuat Perhitungan. (Al-Ahzaab:39), dadi karena setiap uwong merasa pinter, merasa bersih, merasa sugih, akhire ya kaya kiye negara acak-acakan terus borok-borok kabeh pada metu alias infeksi. Saiki sing penting yu wong tegal apamaning alumni SMA Negeri siji Tegal pada laksanaken perintah Allah surat Al-Ahzaab: Hai orang-orang yang beriman, berzdikirlah (dengan menyebut nama) Allah, zikir yang sebanyak-banyaknya. (41) Dan bertasbihlah kepada-Nya diwaktu pagi dan petang. (42) Dialah yang memberi rahmat kepadamu dan malaikat-Nya (memohonkan ampunan untukmu), supaya Dia mengeluarkan kamu dari kegelapan kepada cahaya (yang terang). Dan adalah Dia Maha Penyayang kepada orang-orang yang beriman. (43), wassalam.wr.wb.
Wa’alaikumsalam Wr Wb,,,
Matur nuwun sarane Pak. Dimensi berjuang itu ada dua. Menyuruh untuk yang ma’ruf dan mencegah yang mungkar. Nggak mungkin ditinggalkan slah satunya karena tekstual ayatnya di Al Quran menyaratkan demikian. Jadi, buat masing-masing kita, bareng-bareng berbuat baik, dan bareng-bareng juga mengingatkan saudaranya yang salah atau khilaf
ya begitulah mas,,untuk merubah itu semua harus dimlai dari yang kecil saya yakin masih banyak Gayus-gayus lain yang masih berkeliaran
insya Allah mas, gayus-gayus lain mungkin masih banyak, bisa jadi saya juga salah satu di antaranya. makanya kita minta sama Allah supaya Dia menghindarkan kita dari hal-hal demikian. aamiin…