Prasyarat Kampus Idaman: Keadilan Biaya dan Informasi

Tak tahu lagi bagaimana mengungkapkan betapa perihnya nurani merasakan begitu tak adilnya pendidikan di negeri ini. Di level pendidikan tinggi saat ini, parameter masuk utama mulai berangsur dialihkan, dari kualitas intelegensi calon mahasiswa menjadi berapa kesanggupannya untuk membayar sumbangan masuk yang lebih tinggi. Lihat saja di formulir-formulir ujian mandirinya, angka sumbangan ditulis menyatu dengan data identitas pribadi yang lain. Tak peduli itu kampus negeri ataupun swasta. Dalihnya klasik, bahwa kampus memerlukan dana besar untuk menjalankan aktivitasnya. Bahwa untuk menjadi perguruan tinggi terbaik, dana dari mahasiswa adalah pilihan terbaik daripada harus menanti belas kasih pemerintah.

Saya sepakat bahwa dana memang diperlukan untuk menjalankan kampus. Namun, dengan mengorbankan semangat intelektualitas, itu adalah kekonyolan nyata dari para pengambil kebijakannya. Saya pun tak terima ketika pendidikan harus digratiskan. Jika demikian, artinya kita berbuat kedzoliman dengan membiarkan kampus berkubang di ketiadaan biaya dan membiarkan orang kaya untuk tidak berpartisipasi. Maka, konsep tengah-tengah yang tepat adalah dengan alokasi subsidi silang. Yang kaya silakan membayar mahal, yang tak punya uang tak perlu repot memikirkan biaya. Namun, saringan intelektualitas tetap menjadi yang utama. Prosesnya memang tak mudah. Kampus perlu membuat rumusan dan sistem yang lebih rumit. Akan tetapi, harga keadilan saya kira jauh lebih tinggi dibandingkan kerepotan seperti itu. Universitas Indonesia, sebagai salah satu perguruan tinggi favorit Indonesia, telah mengimplementasikannya, meskipun memang belum sepenuhnya bisa memenuhi rasa keadilan.

Malpraktek berikutnya adalah tentang keterbatasan akses informasi kampus. Penyampaian informasi belum mampu menjangkau seluruh pelosok Indonesia. Padahal, jelas-jelas tertuang dalam amanah negara bahwa pendidikan adalah hak tiap warga negara. Bagaimana mungkin anak-anak daerah itu punya gambaran tentang kampus, jika informasi kampus diletakkan di suratkabar nasional, sedangkan suratkabar tersebut tak pernah ada di daerah mereka? Keadilan macam apa apabila ramainya publikasi kampus hanya menjejali label-label website sedangkan jaringan internet belum masuk ke desa mereka?

Marilah bapak dan ibu pemimpin kampus duduk bersama. Singkirkanlah ego kekampusannya. Di forum itu, buatlah strategi-strategi supaya akses informasi itu tersebar luas dan merata. Misalnya saja, semua perguruan tinggi sepakat untuk membuat booklet bersama tentang informasi kampus, jurusan ataupun lainnya. Kemudian meminta kepada Kementrian Dalam Negeri untuk mendistribusikannya melalui jalur birokrasi dari kota, kecamatan, kelurahan/desa hingga RW dan RT. Paling tidak, dengan demikian siswa dan orang tua tahu tentang informasi kampus bagi anaknya. Adapun mereka ingin melanjutkan ke perguruan tinggi atau tidak, tentunya kita tak bisa memaksakan. Namun, dengan upaya memperluas akses informasi tersebut, kita telah sedikit mengurangi gunung dosa pendidikan tinggi.

Rumusan perguruan tinggi idaman harus dipahami bukan ansich tentang dana, laboratorium berkelas internasional, kelas yang sejuk, atau riset-riset internasional. Kalau pendidikan orientasinya hanya dana, maka kampus tak beda dengan pasar. Di kampus, barang dagangannya adalah kursi mahasiswa. Etalasenya adalah parkiran mobil, laboratorium, ruang kelas, mungkin juga kantinnya. Makelar dan calonya adalah kampus itu sendiri. Ketika kampus tak berbeda jauh dengan pasar, maka kampus turut ambil bagian dalam pemiskinan masyarakat yang sudah miskin. Semestinya, kampus punya tanggung jawab moral di sana untuk menciptakan pendidikan sebagai pembentukan karakter, pematangan pola pikir, dan pencerahan keilmuan.

Ketika saya merasa sudah selesai menuangkan ide yang ada di kepala saya untuk menyertakan tulisan ini dalam lomba blog UII dari Universitas Islam Indonesia, tiba-tiba sebuah pertanyaan berkecamuk di pikiran saya. Apakah iya, tulisan ini punya kontribusi manfaat dalam memperbaiki perguruan tinggi di negeri ini?Atau jangan-jangan tulisan ini, yang harus dipenuhi dengan berbagai syarat kata kunci, hanya dipakai untuk menaikkan ranking UII di mesin pencarian Google? Ah, itu kan hanya prasangka saja. Dan saya berharap, dengan amat sangat, semoga tidak.

*tulisan ini sebagai kado bersamaan dengan peringatan hari pendidikan nasional dan juga berkurangnya umur bapak…

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s