Dari hasil ujian nasional (UN) SMA tahun ini, diperoleh suatu data yang menarik. Ternyata, di Jawa Tengah persentase terbesar mata pelajaran yang harus diulang adalah bahasa Indonesia. Dari 35 kota dan kabupaten di Jawa Tengah, tidak ada siswa yang memperoleh nilai 10 untuk pelajaran bahasa Indonesia. Padahal, untuk pelajaran lainnya yang tergolong sulit, ternyata banyak yang dapat memperoleh nilai sempurna.
Salah satu penyebabnya bisa jadi memang siswa tidak memberikan prioritas untuk bahasa Indonesia. Menganggapnya sebagai pelajaran yang mudah sehingga meremehkannya. Agus Irkham dalam opininya di harian Suara Merdeka menyatakan bahwa penyebab utama jebloknya nilai bahasa Indonesia ini adalah rendahnya kemampuan logika dan pemahaman para siswa terhadap teks bacaan. Jika dirunut lebih lanjut, penyebabnya adalah bahwa siswa sangat sedikit membaca. Ketidakbiasaan membaca ini menyebabkan siswa tak mampu membaca isi teks bacaan dengan kritis dan cermat. Akibatnya, siswa gagap ketika harus memilih jawaban dari setiap pertanyaan.
Padahal, peradaban bangsa dibangun lewat semangat membaca yang mengakar kuat. Beberapa negara seperti Jepang, Belanda, Australia menerapkan kebijakan ketat tentang membaca. Sehingga tak salah, negara-negara tersebut menjadi beberapa pusat kekuatan dunia. Bandingkan dengan Indonesia yang pelajaran membaca hanya sporadis, tak sengaja, reaktif, dan sekedar menjejali kurikulum untuk โsekedar adaโ.
Seharusnya budaya baca dimulai dari lingkungan keluarga. Balita yang dibiasakan membaca akan mengasah imajinasi dan kekuatan pikirannya. Menurut Richard M Restak, dalam satu menit, rata-rata 250.000 sel otak akan menggandakan diri pada setiap janin yang tumbuh dan berkembang dengan baik di dunia ini. Dalam sejarah Islam, ulama-ulama besar lahir dari kemampuannya untuk membaca saat masih kecil seperti Imam Syafii yang sudah mampu menghafal Quran ketika berusia 9 tahun. Adapun saat ini, umat Islam sedang berada pada titik rendah budaya baca. Umat ini enggan membaca Qurannya sehingga pantaslah saat ini kita berada dalam era kemunduran. Padahal, inti petunjuk hidup itu berada dalam Al Quran. Bagaimana kita dapat menjadi khalifah yang baik kalau membaca petunjuknya saja begitu jarang, bahkan tak pernah.
Kumpulan data dan fakta di masyarakat menunjukkan bahwa keengganan dan ketidakmampuan umat Islam untuk mengejawantahkan nilai dan kandungan mulia dari agama ini adalah karena masih banyaknya umat Islam sendiri yang tidak bisa membaca Al Quran. Membaca Al Quran bukanlah prioritas. Yang jauh lebih penting bagi masyarakat yang mengaku dirinya modern saat ini adalah kemampuan putra-putrinya untuk belajar matematika dan bahasa asing. Ratusan ribu bahkan hingga jutaan rupiah tak masalah digelontorkan untuk mendatangkan guru matematika handal atau mengirimkan anaknya ke bimbingan kursus bahasa ternama. Namun, investasi untuk bisa membaca Al Quran tak pernah sampai seperempatnya investasi itu.
Dari kita sendiri sebagai salah satu sistem dari pranata masyarakat pun tak pernah sanggup untuk memberikan apresiasi terhadap para penghafal Quran, orang-orang yang setingkat lebih tinggi dari pembaca. Apresiasi itu jauh lebih banyak disematkan kepada generasi yang jago menyanyi, juara sains, dan lainnya.
Seorang guru yang saya kenal pernah mengatakan kepada saya bahwa kalau tidak ada katrol nilai terhadap ujian baca tulis Al Quran di SMP/MTs, akan sangat banyak siswa yang tidak lulus. Kondisi ini tentu membuat kita prihatin. Ternyata modernitas dan keunggulan akal manusia bukanlah jaminan untuk memprioritaskan membaca kitab sucinya. Bahkan muncul kesan untuk meminggirkannya.
Saya tak bermaksud mengambinghitamkan mereka yang sudah diberikan anugerah untuk unggul di bidang sains dan sebagainya. Ini hanya sebuah pengingatan, kesuksesan apapun yang kita raih namun kita gagal membaca Al Quran secara fisik dan makna yang terkandung di dalamnya, sejatinya kita sedang meninggikan bangunan dengan pondasi yang rapuh, amat sangat rapuh.
ditulis untuk ukhuwah.or.id
mungkin cuma saya saja, tapi… gagasannya kok rasanya nggak koheren, ya? bukankah idenya sebagai berikut:
dari paragraf 3 ke 4 dan 4 ke 5 seperti ada gagasan ide yang melompat; mungkin saya agak kurang memahami, tapi kok paragraf 1-3 dan 3-5 seperti dua gagasan yang benang merahnya nggak kelihatan, ya? ๐
rasanya sih seperti problem yang disampaikan di paragraf 1-2 tidak berhubungan dengan gagasan yang diajukan di paragraf terakhir. adakah korelasinya antara membaca Quran dan kemampuan bahasa Indonesia? apakah dengan membaca Quran adalah konklusi terhadap problem di paragraf awal? benang merah ini yang kayaknya tidak tereksplorasi. akhirnya jadi wide off the mark, IMHO.
tapi mungkin ini masalah pemahaman saya saja sih. mohon dicerahkan. thanks, ๐
hehehe, kerasa begitu ya bang yudi?? hmmmm, sebenernya pengen mengambil data menarik tentang minimnya membaca (secara umum) ternyata juga minat membaca Al Quran (secara khusus) yang rendah. kalo memang proses pengambilan logikanya kurang bener, mohon maaf. terima kasih atas kritikannya. semoga tulisan berikutnya lebih logis lagi ๐
Menurut gw juga sama, alangkah indahnya setiap orang cerdas dalam hal sains dan baik secara rohani. Namun untuk mencapai sesuatu yang ideal juga tidak mudah, tapi bukan berarti tidak bisa.
Yang jelas harus ditumbuhkan adalah semangat pada diri siswa sendiri untuk belajar. UN itu cuma sekedar tolak ukur.
@ yudi: nice inpoh gan. gw bacanya lompat-lompat dan baca kesimpulan aja. ๐
makasih udah komen bill…
hehe, otak gw masih berpikir bahwa agama tetep harus diutamakan bil. sedih juga liat temen-temen yang muslim, kristen, katolik, budha, hindu yang jauh dari apa yang diyakininya. orang kayak nt nih bil yang kudu ngomporin biar yang laennya ikut. ayok lah, bergerak … ๐