Adakah kamu hadir ketika Ya’qub kedatangan (tanda-tanda) maut, ketika ia berkata kepada anak-anaknya: “Apa yang kamu sembah sepeninggalku?” Mereka menjawab: “Kami akan menyembah Tuhanmu dan Tuhan nenek moyangmu, Ibrahim, Ismail dan Ishaq, (yaitu) Tuhan Yang Maha Esa dan kami hanya tunduk patuh kepada-Nya” [Al Baqarah: 133]
Dalam Islam, tauhid menempati urutan tertinggi. Umpama Islam adalah bangunan, tauhid adalah pondasinya. Sebagai muslim, kita mengetahui hal tersebut. Karena merasa begitu mengetahuinya, maka kita acapkali meremehkannya. Menganggapnya biasa saja. Bahkan, mungkin mengabaikannya.
Jarang betul kita mengevaluasi tauhid kita. Seolah-olah penegasan agama di KTP, passpor, ataupun isian form yang pernah kita isi, betul-betul merepresentasikan bahwa kita adalah muslim. Padahal, esensi tauhid adalah mengakui bahwa Allah adalah Tuhan kita dan bahwa Muhammad adalah Rasul-Nya.
Dalam kenyataannya, Tuhan kita telah berganti. Wujudnya bisa berupa harta. Kadang jabatan. Kadang pekerjaan. Kadang keluarga kita. Kadang atasan. Karena pemasrahan diri kepada selain Allah berarti pula kita telah menduakan-Nya.
Maka, pengakuan Allah sebagai Tuhan, cukup di dalam masjid. Saat mengikuti pengajian. Saat membaca Al Quran. Saat ritualisme agama itu kita jalankan. Sekularisasi secara sadar ataupun tak sadar telah kita lakukan. Bisa jadi selama ini kita tidak memahaminya.
Kutipan ayat di atas juga mengingatkan kita kembali. Bahwa esensi pewarisan terhadap generasi berikutnya adalah tauhid. Pengakuan bahwa Allah adalah satu-satunya tempat ketundukan dan kepatuhan kita. Bukan harta benda. Bukan pula kebanggaan atas kedudukan.
*tulisan ini adalah tulisan pertama dari tiga puluh tulisan yang akan dipublikasikan ba’da ashar selama Ramadhan melalui facebook dan blog
Selamat Berpuasa Om……… 🙂