Jika hidup ini dimonopoli oleh kegembiraan terus-menerus, hanya kejemuan yang akan kita temukan. Demikian halnya begitu kesengsaraan yang menimpa beruntun dan tak pernah henti, hidup seperti kutukan kesialan. Jadi, sebetulnya pergiliran gembira dan sedih memang menjadi keharusan dalam warna hidup.
Sama seperti kondisi kita sekarang, ketika banjir besar menimpa Wasior, tsunami menggulung Mentawai, dan gunung Merapi meletus di Yogyakarta. Kalau kita kembali dalam perspektif awal di atas, sedih, kecewa, musibah, apapun itu, memang harus datang.
Seringnya kita selalu berada dalam pola berpikir bahwa musibah seperti ini bermuara kepada ketidakbaikan. Padahal, selalu ada sisi lain darinya. Dari sebuah tulisan kolom yang saya baca di Suara Merdeka, koran Jawa Tengah, muntahan gunung berapi mengirim puluhan juta meter kubik muatan. Dari muntahan itulah yang menjaga kesuburan tanah di sekitar Merapi, membuka lahan baru bagi para penambang pasir, dan memberi harapan akan penelitian yang luar biasa bagi para ilmuwan geologi.
Saya tidak bermaksud membenarkan kita boleh melancong ke luar negeri, atau berfoya-foya. Tapi, setidaknya kita mampu menunjukkan keceriaan dan keoptimisan dalam musibah yang dialami. Bahwa selalu ada sisi baik dari yang tidak baik. Kita acapkali menyebutnya hikmah.
Tulisan ini teringatkan dari sebuah pesan yang dulu pernah saya dengar. Kalau lihat jalan menanjak, bergembiralah, karena setelah itu, akan ada jalan yang menurun. Jika kau jumpai jalan menurun, berhati-hatilah, setelahnya akan kau temui jalan yang mendaki.
jadi inget, ada senior di kuliah yang kemudian ngajar bilang, klo ada orang bilang gempa di padang itu karena banyak maksiat, itu berarti ada kesesatan berpikir (fallacy of thinking). 😀
Ya, jalannya kehidupan itu emang kayak roda yang sdg berjalan. kadang di atas, kadang di bawah. btw, bagus kalimat terakhirnya, mas. 🙂