Logika saya masih tak nyambung dengan ungkapan “cinta tak harus memiliki”. Kalau seseorang tidak memiliki apa yang dianggap dicintainya, artinya hanya ada dua kemungkinan.
Kemungkinan pertama, ia tak sungguh-sungguh mencintainya. Bagaimana mungkin mencintai tanpa memiliki? Bagaimana mungkin kita cinta dengan Tuhan kita, tanpa merasa memiliki ajarannya? Memiliki dalam artian punya kemauan sungguh-sungguh untuk menjalankan apa yang Tuhan perintahkan.
Bagaimana mungkin kita bilang mencintai negara dan bangsa ini, kalau tindakan yang kita lakukan adalah mengotori jalanan, menebangi pohon sembarangan, korupsi, dan lain sebagainya? Jadi, perspektif cinta ini hanya tampak luar saja, cukup sebatas lisan.
Kemungkinan kedua, saya khawatir, orang-orang yang bilang bahwa “cinta tak harus memiliki” adalah orang-orang yang takut menghadapi kenyataan dan hari esok. Ia terus berlindung di balik pembenaran akan kekalahannya dengan realita. Ini jauh lebih menyedihkan.
Mereka ini adalah orang-orang yang kalah dalam perebutan cinta. Mereka mencintai seseorang tapi tak mampu menggapainya. Mungkin variabel pembedanya terlalu lebar. Atau mungkin ia tersingkir oleh orang lain. Tapi hakekatnya tetap sama. Ia kalah, tapi tak mau mengakuinya.
siiiiiiiiphhhh beneerrrr um timinn :joss:
alhamdulillah…
suwun mbak dhesy š
Bukankah cinta memang tak memiliki, Cintalah yang dimiliki.
Saat kita mencintai, berarti kita menjadi milik yang kita cintai.
Kalau cinta kepada manusia berbalas, barulah saling memiliki.
Tapi saat cinta kepada manusia tak berbalas, kita menjadi miliknya tanpa memilikinya.
Hanya Allah yang akan selalu membalas cinta umatNya.