Beliau sama sekali belum pernah mengenal saya sebelumnya. Saya pun demikian. Namun, interaksi singkat dengan beliau, telah memberikan kesan yang mendalam bagi saya. Beliau pedagang kelontong. Sudah lebih dari dua puluh tahun beliau berjualan. Tokonya adalah rumahnya. Rumahnya adalah tokonya. Dari hasil usahanya itu, dua anaknya kuliah di UI, seorang lagi di ITS. Sangat mengesankan bagi keluarga yang tinggal di pedesaan.
Saya baru menyadari bahwa toko kelontongnya diapit dua minimarket yang sekarang begitu populer. Jaraknya tak berjauhan, tak lebih dari 500 meter di utara dan satunya lagi 500 meter di selatan. Logikanya, toko kelontong beliau ini harusnya sepi karena kehadiran dua minimarket itu. Namun, kenyataannya tidak. Setiap waktu, tokonya ramai didatangi pembeli! Yang tua, yang muda, yang ibu-ibu, yang anak-anak, adalah pembelinya.
Saat saya tanya, apa tidak takut dengan kehadiran minimarket itu berpengaruh ke dagangannya. Sudah ada yang ngatur rezekinya, kata beliau. Jam berdagangnya pun membuat saya geleng-geleng kepala. Pagi buka, jam 2 sampai jam 4 istirahat, dan maghrib tutup. Kenapa nggak sampai malam, Pak? Kalau malam, waktu buat keluarga dan tetangga, ujar beliau.
Semoga istiqomah, Pak!