Semakin ke sini, saya kok merasa prihatin dengan kualitas interaksi kita. Betul bahwa teknologi sudah maju. Tiap orang sudah terhubung. Entah itu lewat telepon, handphone, internet. Semuanya membuat jarak tak jadi kerisauan.
Namun, justru kuantitas interaksi yang melimpah ini, malah menurunkan kualitasnya. Kita jadi asing dengan yang ada di dekat-dekat kita. Yang jauh malah terasa lebih dekat. Yang dekat, keluarga, tetangga kanan kiri, kok ya rasanya malah jauh, jarang kita sapa, sudah abai diajak tertawa bersama.
Ketika pedagang kaki lima di kota Solo akan ditata ulang, Walikotanya mengundang para pedagang ini ke pendoponya. Tak diajak bicara tentang relokasi, malah diajak makan gratis hingga lebih dari 50 kali bolak-balik di tempat yang sama. Hingga akhirnya, tanpa hujatan, teriakan, perlawanan, kelompok pedagang ini sukarela, ikhlas hati, legowo, pindah dari tempat dagangnya semula.
Ini bukan tentang siapa. Tapi tentang apa dan bagaimana. Bahwa bicara juga harus melibatkan hati. Sehingga di lain hari, teman baru saya, seorang anak SMK kelas 3, yang tiap malamnya sambilan menjual minuman dengan gerobak di belakang kantor, tak perlu terisak karena atas nama keindahan dan kerapihan kota, gerobak jualannya diangkut paksa hari minggu lalu.
mantabz bro analogi crita di atas,, 🙂