Dari SD hingga SMA, transportasi utama yang saya gunakan ke sekolah seringkali sepeda. Pernah pakai sepeda motor, tapi jarang betul. Selain karena tak jauh, pakai sepeda menurut saya jauh lebih sehat. Juga lebih bisa menikmati jalanan. Ruang parkir sepeda pun saat itu penuh. Sering saya tak dapat tempat parkir karena datang terlalu siang, mepet bel masuk.
Sekarang, parkiran sepeda di sekolah seringkali sepi. Apalagi di SMA. Siswanya lebih beralih ke motor. Kata seseorang, “Anak sekolah sekarang malu naik sepeda, Mas. Mending jalan kaki atau naik angkutan kota kalau nggak pakai motor”.
Fenomena sepeda ini sepertinya terhubung dengan kondisi sekolah di daerah saya. Bahwa sekolah sekarang tak hanya sebagai tempat belajar materi pelajaran. Ia juga berfungsi sebagai tempat mode dan gengsi.
Tak percaya? Tanyakanlah kepada anak-anak sekolah itu, tentang model dan tren HP, laptop, baju, tas, motor, hingga segala aksesoris lainnya. Mereka bahkan jauh menguasainya dibandingkan Hukum Black, teori DNA, menghitung jari-jari lingkaran dalam, sastra 45, atau yang lainnya.
Kelihatannya juga ini menggambarkan kebanyakan bahwa sekolah saat ini semakin tak memberikan ruang bagi anak-anak tak mampu. Kalaupun ada, kecil sekali. Dan sekolah jarang mempublikasikan adanya jatah keringanan dan beasiswa. Bagi sekolah, mungkin jauh lebih menarik ketika siswa yang masuk adalah siswa dari orang tua yang berduit. Mereka adalah ladang-ladang emas untuk menaikkan derajat sekolah dengan status internasionalnya.
Duh, semoga ini hanya salah sangka dari sok tahunya saya menghubung-hubungkan sesuatu yang belum tentu saling terkait. Selamat hari pendidikan!