Sebuah kota pasti memiliki warna yang khas pada karakteristik penduduknya. Ya! Anda akan merasakannya ketika sudah berkeliling pulau Jawa, Indonesia, atau bahkan dunia. Tegal punya warna sendiri. Mungkin pendapat tentang warna pada kota dan masyarakat adalah subyektif, tapi pengalaman adalah “guru terbaik warna pada masyarakat”. Wong Tegal yang telah menjadi migran, petualang, perantau, dan bahkan pekerja di luar negeri akan merasakan bahwa kota ini memiliki warna yang sangat berbeda dengan kota lain di seluruh dunia.
Berbagai warna yang ada di Tegal, dari sisi positif maupun negatifnya, menunjukan estetika meskipun hal itu terkesan subyektif. Hal ini karena semua orang sebenarnya memiliki karakter psikologis dan mental yang berbeda-beda di seluruh dunia secara genekologis hingga struktur masyarakat.
Banyaknya warna sifat masyarakat yang dibentuk menunjukan sebuah dinamika dalam migrasi atau bepergian itu. Semakin orang suka bepergian ke luar Tegal, semakin dia akan menemukan warna yang sangat berbeda. Tegal bukan Malang. Tegal bukan Jogja. Tegal bukan Sukabumi. Tegal bukan Bali. Ini bukan wilayah yang didukung oleh infrastruktur pariwisata yang sangat mewah seperti Bali atau capital region non sosiologis seperti Jakarta. Anda sedang berhadapan dengan masyarakat dengan bahasa ngapak yang lebih tua dari
bahasa kromo. Anda sedang menghadapi masyarakat Tegal yang “nyeni”. Tidak ditemukan dimanapun di
dunia, bahkan Suriname.
Hingga saya menemukan rumusan berpikir dalam menjawab: mengapa Tegal ngangeni dan mbetahi? Jawabannya adalah karena warga Tegal adalah pelaku migrasi yang sangat luwes. Karena banyak migran, maka ia kangen dengan kampung halamannya. Ada semacam kepercayaan pada masyarakat luas di Tegal bahwa merantau adalah salah satu kunci keberhasilan dan bisa dibuktikan di kampungnya.
Dan tak lupa: pengalaman mengenai warna masyarakat. Berbeda dengan orang Minang yang memiliki motto: “pergilah, jadilah orang ternama, jangan di kotamu”. Tapi di Tegal tidak. Sekaya apapun, sejauh apapun merantau, mereka akan memiliki risiko pulang ke Tegal. Mengapa? Tidak hanya karena makanan, tapi keluarga, di sini semua orang seperti keluarga: hangat. Sehingga tiket mudik 2011 ini pun telah terjual laris! Karena mereka yang di sana tak mau melewatkan momen yang ada di sini, di tanah lahirnya, di Tegal.
tulisan ini dikutip dengan beberapa perubahan dari facebook: Kaos Galgil, sebuah kreativitas yang kami kelola untuk Tegal yang lebih baik
kangen Tegal dengan segala pernak pernik, aktifitas, dinamika dan kompleksitas nya 😀
Entahlah….tp aku selalu rindu akan Tegal….
Hidup Galgil!
hidup Indonesia! 😀
Aku pny kwn dr tegal,4 thn dh dimedan,tp logatnya ga abis2. Pedenya selangit.
gw kangen tegal yg eksotik..bukan banyak diskotik dan brandal mabuk..aku pengin saat aku pulang aku menemukan kotaku yg dulu..yg selalu ramah tapi tidak lemah..enyong kangen nemen sung yakin..mari bangun perasaban yg santun dan berwawasan..hidup kotaku tegal
kenapa banyak pendatang yg ngrusak pola pikir tegal..ada dari kota m yg hobinya jual jasa renten..skrng bnyk waega tegal yg kelilit utang..ada kota md..yg orangnya susah diajak kompromi..banyak ditemui di tegal punya rumah lagi di tegal..sehingga wajah tegal tak seramah dulw..sedih nemen aku..aku pengin tegal kaya mbiyen..bisa ora ya?