Mengapa 30 Agustus?

Ada beberapa orang yang menanyakan kepada saya tentang pilihan mengapa saya memilih merayakan idul fitri pada 30 Agustus, berbeda dengan keputusan yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Paling tidak ada 4 alasan berikut ini yang dapat saya ungkapkan.

1. Wujudul Hilal
Dari berbagai metode yang ada, saya cenderung sepakat dengan metode wujudul hilal. Artinya, berapapun tinggi hilal, sepanjang hilal sesuai dengan hisab sudah berada di atas ufuk (lebih dari 0 derajat), maka sudah masuk bulan baru pada malam itu.


2. Keterbatasan ru’yatul hilal
Me-ru’yat hilal memiliki beberapa keterbatasan di antaranya, tidak dapat melihat hilal baru yang tingginya kurang dari 2-4 derajat di atas ufuk. Hanya teropong dengan kualitas yang sangat canggih dan pengamat yang ahli yang sanggup melihat hilal yang usianya masih muda ini. Dari penuturuan seorang teman saya dari Bosscha, hilal termuda yang pernah dilihat adalah saat hilal tersebut berusia 45 menit. Dan prestasi ini telah dipublikasikan di sebuah jurnal.

Keterbatasan lainnya adalah jika secara matematis, hitungan hilal sudah lebih dari 4 derajat di seluruh tempat, namun semua tempat pengamatan ternyata memiliki kendala cuaca atau mendung sehingga hilal yang secara teori dapat dilihat, akhirnya tidak dapat dilihat, maka kelompok yang berpedoman kepada ru’yatul hilal harus melengkapi hari pada bulan tersebut menjadi 30 hari. Padahal, seharusnya secara teori matematika, seharusnya hari pada bulan tersebut berjumlah 29 karena hilal yang sudah tinggi di atas ufuk.

3. Kesatuan lokasi (mathla’)
Ada sebuah hadits Rasulullah yang menyatakan bahwa ketika ada di antara kamu yang melihat hilal, maka berpuasalah. Yang perlu digarisbawahi di sini adalah kata “di antara kamu”. Siapakah yang dimaksud dengan kata tersebut? Selama ini saya memahaminya bahwa kata tersebut tidak terkotak-kotak kepada lokasi bernama propinsi atau negara, tetapi bergabung kepada seluruh lokasi di dunia.

Artinya apa? Artinya jika di Indonesia tidak ada orang yang melihat hilal, tetapi di daerah Eropa, Amerika, atau Timur Tengah ada yang melihat hilal dan telah disumpah, maka telah sah masuk ke bulan baru. Inilah konsep khilafah Islamiyah. Bahwa antara muslim yang satu dengan muslim yang lain, tidak terkotak-kotakkan oleh negara atau apapun namanya itu. Di manapun ia berada, sepanjang ia bersyahadat, ia adalah saudara seiman dan seperjuangan, apapun bahasa, warna kulit, dan lainnya yang berbeda.

Anda mungkin menolak pendapat mathla’ ini. Beberapa alasan yang diungkapkan ke saya di antaranya adalah jarak yang jauh, katakanlah antara Indonesia dengan Arab Saudi, misalnya. Jadi, alangkah wajar jika terjadi perbedaan penetapan hari raya antara Indonesia dengan Saudi Arabia.

Namun, tahukah Anda bahwa ternyata negara Malaysia, Brunei, Jepang dan beberapa negara lainnya menetapkan hari raya Idul Fitri tahun ini (1432 H) pada tanggal 30 Agustus 2011? Padahal secara garis lintang dan bujur, daerah Riau juga Kalimantan, tidak jauh beda garis lintang dan bujurnya dengan Malaysia. Jika kita berpedoman pada “jauhnya jarak”, maka argumentasi itu tidak masuk akal. Seharusnya idul fitri Indonesia sama dengan Malaysia. Tetapi, kenyatannya berbeda.

4. Keputusan dari Makkah dan Madinah
Sejelek apapun Saudi Arabia, kiblat umat Islam tetaplah ke Masjidil Haram. Pelaksanaan haji sampai kapanpun juga akan tetap berada di Makkah, Arafah, Muzdalifah, dan Mina. Karena itulah, penentuan kalender hijraiyah dunia harus mentaati keputusan yang berlaku di Makkah dan Madinah. Pada Syawal 1432 H ini, di kota Makkah dan Madinah, jatuh pada tanggal 30 Agustus 2011.

Pengungkapan ini sama sekali tidak bermaksud menyalahkan kelompok tertentu atau membangkang terhadap keputusan pemerintah. Saya telah membuat keputusan dari apa yang saya ketahui. Konsekuensi dari keputusan yang saya ambil akan saya tanggung sendiri dan nanti akan saya pertanggungjawabkan di hari akhir di hadapan Allah SWT. Saya tidak ingin sekedar ikut-ikutan, asal ikut, pokoknya ikut, tanpa tahu ilmu yang mendasarinya. Apapun pilihan yang kita ambil, dasarilah dengan ilmu. Karena syarat diterimanya amal adalah ikhlas dan faham ilmu tentang amal tersebut.

Perbedaan penentuan ini adalah perbedaan perspektif fiqihnya. Sama seperti kenapa ada yang menggunakan qunut dan ada yang tidak. Ada yang hanya azan sekali ketika sholat Jumat dan Subuh, ada yang azan dua kali. Boleh atau tidakkah berdoa setelah sholat dengan dikeraskan suaranya atau dengan mengangkat kedua tangan.

Keinginan untuk menyatukan penanggalan hijriyah ini patutlah disambut baik. Namun, haruslah tetap dalam koridor yang menjunjung tinggi etika, penghormatan, dan saling menghargai, tidak seperti saat pelaksanaan sidang isbat penentuan 1 Syawal kemarin.

Demikian. Semoga Allah meridhoi amal ibadah kita. Aamiin…

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s