Akhir Ramadhan lalu, Allah kasih kesempatan buat saya untuk menjejakkan kaki di salah satu pulau timur Indonesia, di tanah Biak. Saya memang punya keinginan untuk bisa menjelajahi, mungkin tidak semuanya, pelosok wilayah di negeri ini. Tanah yang amat luas. Bentangan lebarnya setara dengan Eropa. Pulau-pulaunya tersebar, menyimpan misteri eksotis yang sulit ditemukan bandingannya di belahan bumi lain.
Di Biak, saya bersama tim Bosscha dan Lapan menginap di wisma LAPAN Biak. Dari bandara, wisma yang sekompleks dengan LAPAN ini, sebetulnya tidak terlalu jauh. Namun kami harus memutar dengan mobil, menembus Subuh gerimis pagi itu, setelah tiba dari perjalanan 6 jam pesawat Jakarta-Makassar-Biak.
Biak bukan kota yang cukup besar. Sayang, kami tidak bisa berkelana jauh mengelilingi Biak karena tugas pengamatan hilal dari waktu Dzuhur hingga waktu Isya. Akhirnya hanya pada malam hari kami dapat menikmati keindahan Biak, khususnya kulinernya.
Ikan adalah menu favorit para tamu Biak. Tepat pada malam takbiran, suasana kota sangat ramai. Meskipun didominasi umat Kristen, mereka tak canggung ikut berpawai dan berkeliling bersama kelompok takbir keliling. Kerukunan beragama di Biak memang erat, demikian penuturan salah seorang pegawai LAPAN yang sudah bertugas puluhan tahun di sana.
Sambil mengitari Biak dari Toyota Kijang yang kami tumpangi, beliau banyak bercerita tentang kondisi alam, sejarah, dan masyarakat Biak. Alam Biak telihat biasa saja dibandingkan daerah lain. Justru nilai sejarah Biak ini yang diabaikan oleh kita.
Di Biak, kita bisa menemukan gua Jepang, tempat Jepang berlindung dari serangan Sekutu pada peperangan Pasifik. Juga masih terlihat beberapa meriam tua juga bangkai pesawat tempur yang sudah usang, tergeletak begitu saja tanpa perawatan. Bahkan di pesisir pantainya, jika kita mau menjelajah lebih jauh dan dalam, ada ranjau-ranjau yang masih aktif. Beberapa nelayan yang tak paham, terputus lengannya akibat ceroboh dalam membuka ranjau-ranjau itu.
Sejumlah peninggalan sejarah lainnya terindikasikan lenyap tak tahu ke mana rimbanya. Penduduk setempat beberapa kali menjual temuan-temuan sejarah tersebut. Ada yang karena tidak tahu benda itu termasuk benda bersejarah. Ada yang memang rakus dengan uang yang didapat jika ia menjualnya.
Saya tak sempat lama di Biak. Masih banyak hal yang tak saya tahu. Tersimpan puluhan misteri yang belum saya ungkap. Namun, saya tetap bersyukur. Menjejakkan kaki di Biak adalah salah satu titik dalam peta besar hidup saya untuk menjelajah Indonesia, juga dunia.
Posted from WordPress for Android