Suatu ketika, salah seorang teman membantah pendapat saya. Katanya, prestasi seorang mahasiswa tak harus lewat gelar juara atau penghargaan, seperti seleksi Mahasiswa Berprestasi, PKM, ataupun kompetisi yang lainnya. Yang paling penting, katanya, dia bisa jadi seorang mahasiswa yang konsisten dengan target yang telah ditetapkannya. Apapun bentuknya. Maka sebetulnya, kata teman saya ini, orang seperti ini sudah layak disebut berprestasi.
Hingga pada lain waktu, saya mengetahui bahwa dia telah menjadi salah satu pemenang di kompetisi yang skalanya tak besar. Ia bangga bukan main. Berulang kali dia ceritakan tentang kemenangannya itu. Hadiahnya tak cukup besar, tapi dia senang karena dia populer. Orang-orang telah mengenalnya karena prestasinya itu. Bahkan, akhirnya saya tahu bahwa dia sekarang malah getol ikut kompetisi yang lainnya.
Prestasi itu ya fitrahnya manusia. Saya, Anda, kita semua pasti akan senang kalau bisa memenangkan sesuatu, punya prestasi tertentu. Ada kebanggaan tersendiri, tentunya. Saya sepakat bahwa pemenangan atau keberhasilan sesuatu itu bukan tanda mutlak bahwa kita sukses sebagai manusia. Tapi, ya jangan juga karena Anda tidak pernah, mungkin juga tidak bisa memenangkan apapun, lantas berdalih, bahwa mendapatkan juara itu tidak penting.
Mendapat prestasi kebaikan itu tak mesti dikenal banyak orang. Percayalah, Tuhan masih begitu baik kepada negeri ini karena begitu melimpahnya prestasi kebaikan yang tersembunyi. Kebaikan-kebaikan yang nilai ikhlasnya itu betul-betul luar biasa. Kumpulan prestasi kehidupan ini tak mungkin datang sekejap. Ia pasti dibentuk atas prestasi kecil yang telah diciptakan sebelumnya.
Salah satu parameter untuk mengukur seberapa dahsyat magnitudo prestasi kebaikan adalah saat kita baru saja menghabiskan umur di dunia. Steve Jobs telah membuktikannya. Kepergiannya adalah kehilangan yang besar bagi dunia. Tak hanya kawan yang menangisinya, bahkan musuhnya, kompetitornya, pembencinya pun tak sanggup membendung kesedihannya karena kehilangan Steve Jobs ini.
Saya jadi teringat saat mengikuti salah satu training ketika kuliah. Saya terhenti dan tercekat pada sesi di mana sang trainer bertanya kepada kami, ingin dikenang sebagai apa ketika kalian meninggal nanti?
*turut berduka atas meninggalnya salah satu tokoh besar IT dunia, Steve Jobs. Stay hungry, stay foolish!
Posted from WordPress for Android