Sejak masih SD, saya sudah jatuh cinta dengan PSIS Semarang. Waktu itu PSIS masih satu-satunya tim dari Jawa Tengah yang berlaga di kompetisi tertinggi sepakbola Indonesia. Kecintaan saya kepada PSIS ini sudah muncul sebelum PSIS jadi juara liga Indonesia. Dan perasaan cinta itu terus berlanjut saat ini, termasuk ketika PSIS degradasi tepat setahun setelah menjadi kampiun liga Indonesia.
PSIS tentu kalah tenar dibandingkan dengan Persija, Arema, Persib, Persipura atau klub-klub besar Indonesia lainnya. Juga jelas kalah kelas permainannya dibandingkan Barcelona, MU, Munchen, AC Milan, dan sebagainya. Tapi, PSIS punya tempat tersendiri di hati saya.
Kecintaan saya kepada PSIS pasti bukan karena prestasinya, karena sekarang pun untuk tetap eksis di panggung sepakbola nasional amatlah sulit. Bukan pula karena tipe permainannya serta keterkenalan pemainnya.
Ada kegembiraan berbeda yang saya rasakan ketika PSIS menang. Ada kecewa mendalam ketika PSIS seri atau kalah. Tapi, saya tak pernah memaki bahkan ketika terdegradasi. Jengkel iya. Tapi, saya tetap cinta. Apapun hasilnya, itulah risiko saya sebagai fansnya.
Saya menyadari sepenuhnya bahwa tim yang saya cintai ini punya banyak kelemahan. Sama seperti diri saya sendiri. Kalau dengan alasan bahwa karena tim itu kualitasnya jelek kemudian saya tak lagi cinta, maka sebetulnya diri saya sendiri pun tak layak dicintai, oleh siapapun itu. Karena aib saya itu, masya Allah, banyaknya bukan main.
Jadi, kekaguman atau kecintaan itu tak selamanya harus bersandar pada kesempurnaan. Bahkan, harusnya ia bersandar kepada kekurangan dan kelemahan. Kepada siapapun objeknya. Juga termasuk timnas Indonesia yang baru kalah lagi malam ini.
Posted from WordPress for Android
kemutan psis nang final liga indonesia 1998 psis vs persebaya, sapa maning yen dudu mas Tugiyo -maradonna asal purwodadi yen ora salah- pencetak gol tunggal 🙂 glory glory mahesa jenar