Kapan kita khusyuk, serius, sungguh sesungguh-sungguhnya berdoa? Kalau sebulan lagi sudah mau ujian, mungkin. Bisa ujian tengah semester, ujian akhir semester, ujian nasional atau aneka ujian lainnya.
Kapan lagi? Mungkin, kalau jodoh belum datang-datang, padahal usia sudah mepet dan kesiapan kok kayaknya sudah maksimal betul.
Kapan lagi? Mungkin, pas sudah berkeluarga, tapi kok momongan yang sudah diharapkan, masih enggan dititipkan sama kita.
Doa adalah wujud lemahnya kita. Bahwa kita yakin, bahwa se-nggak mau kalahnya kita di depan teman, lawan, saingan; masih ada yang jauh lebih segalanya.
Mungkin berbeda dengan Anda. Saya membiasakan meletakkan doa ada di depan. Saat urusan yang saya jalankan, masih dalam level niat. Saya hanya ingin menyertakan Allah sejak awal di urusan saya. Saya malu kalau Allah saya libatin kalau pas saya lagi sulit. Nggak mau saya begitu.
Justru saya menikmati tawakkal model ini. Nikmat banget kalau semua urusan itu sudah diserahkan sama Allah di awal. Saya lebih semangat. Kalau pun jatuh, sakitnya itu enak. Berasa cepet banget dapet hikmahnya.
Doa yang seperti ini yang bagi saya justru menguatkan. Ia menguatkan saat saya sedang lemah. Ia mengingatkan kalau saya merasa jumawa. Ia menyentil keras ketika saya keliru dan menyimpang.