ditulis oleh Sulthan Hadi, dimuat di Tarbawi edisi 257
Ramadhan tidak hanya dikenal sebagai bulan ibadah. Ia juga simbol kedermawanan. Allah swt memperlihatkan kemurahan-Nya di dalam hari-harinya dengan limpahan rahmat-Nya, maghfirah-Nya dan pembebasan-Nya dari api neraka, dan menjadikan yang terbaik dia antara manusia, yang paling pemurah dan paling banyak berbagi. Prestasi itu kemudian disematkan kepada Raulullah saw karena kemurahannya yang berlipat-lipat ketika Ramadhan datang.
Sejatinya, Rasulullah saw memang manusia pemurah. Tak ada dirham atau makanan yang pernah menginap di rumahnya, kecuali beliau sedekahkan. Tapi Ramadhan datang kepada manusia dengan semangat, motivasi, dan pahala berbagi yang begitu besar. Maka sifat murah hati Rasulullah pun kian berlipat, sehingga berhimpunlah dua kemurahan dalam diri beliau; kemurahan Ramadhan dan kemurahan diri beliau sendiri.
Rasulullah saw telah menjadi contoh yang sempurna dalam kedermawanan di bulan puasa, yang ketika memberi, rasa gembiranya jauh lebih besar dari orang yang menerima pemberiannya. Betapa kita sangat butuh menjadikan petunjuk dan akhlaknya sebagai panduan di setiap detik kehidupan kita, khususnya di hari-hari yang penuh berkah, di Ramadhan.
Seperti halnya dengan Ibnu Umar ra, yang tidak mau berbuka kecuali bersama orang-orang miskin. Seorang salafushalih lain yang memberikan makanan berbukanya kepada peminta-minta sehingga ia menghabiskan malam dengan keadaan lapar. Abdurrahman bin Auf menangis saat dia dihidangkan makanan sedangkan dia teringat temannya Mush’ab bin Umair yang di hari kematiannya dia tidak menemukan sesuatu untuk mengkafaninya kecuali selembar burdah. Jika dia tutupi kepalanya, tersingkaplah kedua kakinya, dan jika dia tutupi kedua kakinya, tersingkaplah kepalanya.
Ramadhan, pernah hadir di tengah orang-orang seperti mereka, yang memiliki semangat berbagi yang begitu tinggi, memiliki persaudaraan yang sangat kuat dengan orang-orang yang tidak memiliki hubungan darah dengan mereka. Mereka pahan firman Allah swt, “Jika kamu meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik, niscaya Allah melipatgandakan balasannya kepadamu dan mengampuni kamu. Dan Allah Maha Pembalas Jasa lagi Maha Penyantun.” (QS. At Taghabun: 17)
Namun hari ini, Ramadhan datang kepada kelompok manusia seperti kita. Kepada kaum yang tidak terlalu mengenalnya kecuali sebagai bulan untuk berlapar-lapar di siang hari dan makan sekenyang-kenyangnya di waktu malam. Di bulan ini mungkin yang lebih kita kenali adalah bermacam resep maskan dan tatacara makan. Ramadhan menjumpai sebagian dari kita sebagai orang-orang yang lebih mementingkan diri sendiri. Yang terkadang lebih suka saling bermusuhan dari bersaudara, lebih suka bertengkar dari memperlihatkan ketulusan, lebih senang marah dan cekcok.
Inilah luka-luka kita di hadapan Ramadhan. Inilah kenyataan dari kehidupan kita saat ini. Inilah kita. Tapi kita masih punya harap, semoga kita masih tetap mendapatkan kesempatan di antara hari-hari Ramadhan yang bisa mengubah keadaan kita, untuk lebih peduli, lebih bisa saling memberi. Semoga Ramadhan bisa menjadi stasiun dimana kita akan keluar dengan wajah yang berbeda dari wajah saat kita bertemu bulan itu di hari pertamanya. Semoga Allah mengabuli semua keinginan ini.