Nilai Sebanding

siapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)-nya. dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan sebesar dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)-nya pula [Al Zalzalah: 7-8]

Ketika masih SD, teman-teman sering bertanya kepada saya, kenapa saya hampir selalu dapat ranking 1 di kelas. Saya jawab saja: karena saya belajar. Hampir setiap sore atau malam sepulang sekolah, materi hari itu dibaca lagi. Jika ada PR, langsung dikerjakan. Apa yang dilakukan oleh teman-teman saya? Waktu sore dan malam mereka habis dipakai untuk bermain nintendo, sega, atau dingdong di marina. Lainnya? Menonton televisi tiada habisnya. Akibatnya: PR dikerjakan di sekolah, dan buka buku kalau besok ulangan. Apa saya tidak bermain? Tentu saja bermain. Bermain bola di sore hari, main dingdong, atau main nintendo. Untuk dua yang terakhir, sangat jarang, belum tentu sepekan sekali.

Beranjak kuliah, saya masih menggunakan metode yang sama. Tapi, hasil yang diperoleh tidak sama. Sedangkan kasat mata, saya melihat teman kampus yang santai, selalu dapat nilai yang jauh lebih baik daripada saya. Lantas, saya merenung, hingga sampai pada sebuah kesimpulan. Saya memang rutin belajar. Tapi, materinya jauh lebih sulit dan kemampuan otak saya untuk menyerap materi kuliah berbeda dengan saat SD. Teman yang terlihat santai, ia pasti belajar. Waktu belajarnya mungkin sama dengan saya. Tapi kemampuan otaknya jauh lebih hebat memahami materi. Maka yang perlu saya lakukan adalah membuat belajar menjadi lebih efektif dan menambah jam belajar. Biasa jam 10 malam tidur, kemudian menjadi jam 12 malam. Pada waktu luang yang ada, saya paksakan untuk sekedar membaca slide kuliah atau mengerjakan tugas meski hanya 1 nomor.

Orang-orang yang saat ini, menurut pendapat kita atau orang lain dikatakan sukses, entah dalam sekolah, berkarir, berdagang, berumahtangga, dan sebagainya; keberhasilan itu diperoleh tidak dengan mudah. Mereka belajar lebih banyak. Pulang sekolah, digunakan untuk belajar. Hari libur dimanfaatkan dengan membaca, mengerjakan tugas, atau sekedar membuka kembali materi yang sudah pernah diajarkan.

Karir yang berhasil juga dibangun dari kerja keras. Bekerja lebih lama dari waktu kerja normal. Berlatih hal baru. Membuka jaringan yang tidak hanya teman seruangan atau rekan kantor dan kuliah. Tidak hanya membuka, tetapi jaringan itu dikelola. Rutin disapa, direspon, juga berkumpul di lokasi strategis. Kesuksesan juga lahir dari spiritual yang intensif. Sholatnya lebih khusyuk. Infaqnya total, nggak milih-milih uang ketika buka dompet. Sholat dhuhanya, sholat tahajudnya, qobliyah dan ba’diyah nggak pernah tertinggal. Amalannya ditambah dengan berbakti sama orang tua, hormat sama guru, ramah dengan teman.

Kemudian, kita bertanya. Kita sudah belajar, bekerja, dan berdoa sangat maksimal. Kenapa Allah nggak kasih hasilnya? Mungkin, definisi “sangat maksimal” kita masih belum maksimal. Seperti peristiwa pada diri saya di atas. Saya sudah merasa maksimal saat awal kuliah. Tapi, batas maksimal yang saya pakai sama seperti saat SD. Padahal, waktu dan lokasi sudah tidak setara, not apple to apple.

Jika ada orang yang tidak belajar, tidak tekun, tidak beribadah, tapi posisinya mentereng dan hartanya melimpah; janganlah kita berkecil hati. Mungkin orang tuanya, kakek buyutnya, atau generasi-generasi sebelumnya yang paripurna menyelesaikannya. Atau, mungkin Allah sedang meng-istdraj-kan. Dikasih seluruhnya, kemudian sekonyong-konyong dicampakkan sehina-hinanya.

Kita tidak pernah tahu takdir Allah yang akan menimpa siapapun. Yang bisa kita lakukan adalah menyeriuskan apa yang kita lakukan; semua doa dan kerja keras kita. Gusti Allah mboten sare, Dia akan menghitung semuanya. Dengan sangat adil. Jangan khawatir.

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s