… Kemudian Nabi SAW menceritakan tentang seorang laki-laki yang telah lama berjalan karena jauhnya jarak yang ditempuhnya. Sehingga rambutnya kusut, masai dan berdebu. Orang itu mengangkat tangannya ke langit seraya berdoa: “Wahai Tuhanku, wahai Tuhanku.” Padahal, makanannya dari barang yang haram, minumannya dari yang haram, pakaiannya dari yang haram dan diberi makan dengan makanan yang haram, maka bagaimanakah Allah akan memperkenankan do’anya?” [HR Muslim no 1015]
Beberapa waktu lalu, saya berinteraksi dengan salah seorang teman baik. Beliau bekerja sebagai pegawai negara di salah satu instansi. Beliau berkeluh kesah tentang begitu mengerikannya godaan korupsi dalam pekerjaannya. Yang dikhawatirkannya adalah begitu abainya orang-orang dengan perilaku korupsi yang kecil-kecil. Seseorang memang tak otonom terhadap sistem yang korup. tetapi dia merdeka atas dirinya. Sistem boleh korup, tapi ketika dia mendapat bagian, dia punya pilihan atasnya: menerima atau menolaknya.
Bahkan beliau sampai pada suatu keyakinan bahwa tidak ada profesi yang bersih. Oknum akademisi ikut melacurkan dirinya dengan rente agar mereka diberi proyek oleh pemerintah, melakukan penelitian asal-asalan, dan semua senang-senang saja. Juga oknum pedagang toko yang mau berkongkalikong dengan menyediakan nota kosong saat jual beli.
Paparan beliau ini menyentak saya, mengingatkan kembali bahwa saya harus mengetahui dengan pasti kualitas harta yang diperoleh, dimiliki, dan dikeluarkan. Apalagi sekarang saya sudah menanggung istri dan anak. Apa yang saya berikan kepada mereka, akan menjadi darah dan daging. Dan saya punya kewajiban untuk menjaga keluarga saya dari harta yang syubhat, apalagi yang jelas-jelas haram.
Saya dan teman-teman mengelola bersama Kaos Galgil di Tegal. Sebagai pengelola keuangan, saya mengingat betul pesan Umar bin Khattab ra ketika menjadi khalifah, saat beliau mengusir para pedagang yang tidak mengerti halal-haram dalam jual beli di pasar Madinah. Di bisnis di mana kami punya kuasa penuh di dalamnya, kami menguatkan diri supaya dijalankan sesuai syariat Islam, meskipun bisnis kami tidak ada label syariahnya. Kami mencatat semua pemasukan dan pengeluaran, kemudian membagi hasil usaha sesuai dengan persentase untung atau ruginya pada bulan berjalan. Kami menjaga diri dari riba, sehingga tidak meminjam di lembaga keuangan. Juga tidak membagi hasil dengan memberikan jaminan sekian persen dari modal, karena itu juga termasuk riba.
Rasulullah melaknat pemakan riba, orang yang menyerahkan riba, pencatat riba dan dua orang saksinya. Beliau mengatakan, “Mereka semua itu sama” [HR. Muslim no 1598]
Pada hal-hal yang saya masih kesulitan atau tidak mungkin untuk menolak sesuatu yang saya ketahui kesyubhatan atau pasti keharamannya, maka yang saya lakukan adalah segera “membuangnya”. Dibuangnya untuk fasilitas sosial dan tidak saya klaim bahwa itu adalah infaq, shodaqoh atau zakat dari saya. Itulah yang saya pahami dari ilmu fiqih para ulama. Pun dalam hutang piutang, saya sangat berhati-hati. Saya khawatir, ketika saya mati, masih ada hutang. Karena itu, saya termasuk yang rewel dalam hal ini. Kalau saya punya piutang ke teman, saya rajin menagih. Kalau saya kepepet dan terpaksa berhutang, saya akan minta untuk selalu diingatkan dan berusahaa segera melunasinya.
Mari kita sama-sama meningkatkan ilmu dan pemahaman supaya tahu kualitas harta kita. Bukan banyak dan sedikitnya harta yang jadi ukuran kemuliaan kita di hadapan Allah, tapi kehalalan atas apa yang kita peroleh, miliki, dan keluarkan. Inilah yang membuat Allah memberkahi hidup kita.