Pernahkah dikomentari teman-temanmu kalau kita yang sekarang “beda dengan yang dulu”? Biasanya komentar ini muncul dari teman-teman yang jarang ketemu. Bisa teman SMA, SMP, bahkan mungkin teman SD atau TK. Variabel “beda” ini beraneka macam. Ada yang dulu kelihatan culun, eh sekarang kok ya ndilalah ganteng dan cantiknya nggak ketulungan. Dulu dikenal pendiam, sekarang kok jadi enak diajak jalan bareng, becandanya asik, ngobrol apa aja tetep nyambung. Dulu ke mana-mana naik sepeda, jauh dikit ya naik angkot, sekarang kalo dateng ke mana-mana naik motor atau mobil pribadi.
Waktu SMA, saya beberapa kali makan bareng beberapa teman, di warteg dekat sekolah. Warteg itu dikenal sebagai warungnya tukang becak. Saat itu, sama sekali nggak ada malu-malunya kami makan di situ. Bukan apa-apa. Harganya murah bagi ukuran uang saku saya, juga teman saya ini yang sudah jadi anak kos, jauh dari keluarganya. Menu makan kami di situ ya seringnya orek (tempe kecap) dengan sayur. Kadang-kadang kalo ada duit lebih, lauknya nambah ikan atau ayam. Porsi nasinya segunung, porsi tukang becak. Teh tawarnya gratis. Dan kami makan dengan lahapnya, berlomba dengan pak becak yang duduk di samping kami, ditemani kepulan asap rokok dari pak tukang becak yang sudah tuntas makan.
Saya sering bertanya kepada diri sendiri, apa iya sekarang atau nanti kalo secara ekonomi dan status sosial saya jauh lebih mapan dibandingkan saat SMA, masih maukah saya makan di warteg itu lagi atau di warteg-warteg lainnya. Karena sering saya hanya ingin menikmati hal-hal pada masa lalu sekedar romansa, sekedar mengingat dan mengenang bahwa dulu saya pernah berada di sini, melakukannya karena memang tidak ada pilihan saat itu. Sekarang saya, mungkin juga Anda, lebih tertarik untuk menunjukkan betapa sekarang kita tampil berbeda dibandingkan dulu. Dengan menunjukkan bahwa saat ini kita sudah punya uang lebih, punya gelar mentereng, punya kenalan level tinggi, misalnya.
Berubah memang tidak masalah, apalagi ke arah yang lebih baik, baik ekonominya, status sosialnya, pendidikannya, ilmunya. Pun semakin berubahnya kita, akan selalu ada sisi diri kita yang mengajak untuk tetap seperti yang dulu. Paling tidak untuk mengingat sederhana dan bersahajanya kita saat itu. Mengajak untuk tetap berpijak ke bumi, meskipun kita sudah melambung tinggi ke langit.