Menceritakan sosok laki-laki yang paling saya hormati ini, tidak akan pernah selesai diungkapkan lewat berapapun halaman tulisan, atau berjam-jam bercerita.Menceritakan sosok laki-laki yang paling saya hormati ini, tidak akan pernah selesai diungkapkan lewat berapapun halaman tulisan, atau berjam-jam bercerita. Beliau, bapak saya, adalah bapak yang telah memberikan pondasi berharga buat anak-anaknya dalam menjalani kehidupan.
Bapak adalah pensiunan PNS Pemkot Tegal. Jika berkunjung ke kantor Pemkot, kelurahan, dinas, atau kecamatan yang ada di kota Tegal, tanyakanlah kepada pegawai yang berumur 30-an tahun atau para pejabatnya, saya bisa pastikan bahwa mereka mengenal bapak dengan baik. Bukan karena posisi terakhir Bapak sebagai Camat sebelum pensiun, melainkan karena kesupelan beliau dan konsistensinya menjaga hubungan dengan banyak orang. Maka, setiap saya pergi bersama Bapak, ke manapun tempatnya, selalu saja ada yang menyapa, yang kadang mungkin karena terlalu banyak dan usia yang semakin menua, Bapak kadang lupa dengan orang yang menyapanya.
Jika diminta mendeskripsikan Bapak dalam satu kata, saya akan menuliskan: Muhammadiyah. Beliau menunjukkan kecintaannya kepada Islam lewat belajar dan beramal di Muhammadiyah. Jangan tanyakan kepada kami anak-anaknya, berapa bagian dalam hidupnya telah dihabiskan di Muhammadiyah, karena seluruh jiwa dan raga Bapak adalah Muhammadiyah. Anak-anaknya memang hanya di level TK dan TPQ dididik di sekolah Muhammadiyah, tapi sepanjang usia, kami dididik dengan semangat pengkaderan Muhammadiyah. Sejak SD, kami mengikuti beladiri Tapak Suci tiap hari Minggu pagi, di mana godaan TV sungguh luar biasa dengan beraneka tayangan kartunnya. Ketika Ramadhan tiba, kami diikutkan di pesantren kilat yang diselenggarakan oleh Pimpinan Daerah Muhammadiyah Kota Tegal. Bapak berlangganan majalah Muhammadiyah, menyediakan buku Himpunan Putusan Tarjih sebagai pedoman Fiqh, juga biografi tokoh pergerakan.
Yang sangat membekas dan menjadi salah satu prinsip hidup saya dari adalah fanatisme Bapak terhadap Muhammadiyah dan ketegasan prinsipnya, tidak membuat beliau dimusuhi dan ditolak di lingkungan. Kenapa demikian? Beliau pandai memposisikan diri dan menghormati pendapat yang berbeda darinya. Sudah mafhum di RT, jika ada tahlilan orang meninggal, tidak usah mengundang Pak Dradjat. Percuma, Bapak tidak akan pernah datang. Kalau lebaran berbeda, kami sekeluarga tetap santai berlebaran terlebih dahulu. Berangkat sholat idul fitri di lapangan. Seusainya ya pulang di rumah. Tradisi bersalaman dan berkeliling baru kami lakukan esok paginya berbarengan dengan tetangga.
Tapi, apakah itu membuat tetangga memusuhi Bapak? Sampai saat ini, saya tidak melihat itu. Bapak tetap bisa berbaur dengan masyarakat pada kesempatan lainnya. Beliau datang saat rapat RT, ta’ziah ketika ada warga yang meninggal, ikut kerja bakti, peringatan 17 Agustusan, atau malam-malam saat kumpul minum teh poci bareng bapak-bapak atau pemuda RT. Bahkan, Bapak sempat ditugasi menjadi sekretaris RW sampai 2 periode berturut-turut dan pengurus masjid. Mungkin remeh. Tapi bagi kami yang hidup di pemukiman kampung yang majemuk, bukan di komplek perumahan yang homogen, tugas sebagai RT dan RW tidak bisa diserahkan kepada sembarang orang. Resistensi terhadap orang yang dibenci, tidak dikenal, atau tidak aktif dalam interaksi warga sangat berperan. Urusan intelektualitas, kekayaan, pangkat atau status sosial itu urusan kesekian.
Pada hari ini ketika genap umur Bapak berkurang di tahun Masehi, sebagai anaknya saya mendoakan semoga gusti Allah memberkahi umur Bapak dan mengistiqomahkan Bapak dalam berbuat baik. Alhamdulillah, salah satu cita-cita Bapak untuk diberikan menantu sholehah dan cucu perempuan yang pintar, cantik, lucu sudah gusti Allah kasih. Rasanya tidak layak kami meminta lebih, ketika Engkau ya Allah sudah sangat banyak memberikan begitu banyak kebaikan kepada keluarga besar kami. Alhamdulillah… Alhamdulillah… Alhamdulillah…