Seteguk Air

As Sammak, seorang ‘Alim sahabat Harun Ar Rasyid mengunjungi Sang Khalifah. Saat Harun merasa haus, dimintanyalah minuman kepada pelayan. Segelas air dingin pun dihidangkan.

Ketika dia mengangkat gelasnya untuk minum, As Sammak menahan tangannya. “Tunggu sebentar ya Amiral Mukminin”, ujarnya. “Jika seseorang atau satu hal menghalangimu dari meminum air ini di saat puncak kehausanmu dengan meminta tebusan darimu, berapa kau akan membayarnya?” “Separuh kerajaanku.” Berapa besarkah itu? Kerajaan Harun Ar Rasyid membentang dari perbatasan Gurun Gobi hingga Gurun Sahara, dari Lembah Sungai Indus hingga hulu Sungai Nil, dari Laut Hitam hingga Laut Arab. “Minumlah”, ujar As Sammak, “Semoga Allah memberkahimu.” Harun pun meneguk isi gelasnya dengan nikmat.

“Lalu jika air yang sudah kauminum ternyata tertahan dalam tubuh dan sama sekali tak dapat keluar, berapa kau akan menebusnya?” “Dengan seluruh kerajaanku”, desah Harun. “Jika separuh kerajaanmu bernilai hanya seteguk air, dan seluruh kekuasaanmu hanya senilai setumpahan kencing… Aku takjub pada orang-orang yang ingin memperebutkannya”, pungkas As Sammak.

Mendengarnya, Harun Ar Rasyid menangis tersedu-sedu.

dikutip dari tulisan ustadz Salim A Fillah

Belajar Jual Beli

“Setiap orang yang datang di pasar ini (Madinah) harus tahu barang yang halal dan yang haram, sehingga dia tidak berbuat dzolim. Jika tidak, maka dia akan membuat riba dan keharaman, baik sengaja ataupun tidak.” [Khalifah Umar bin Khattab ra]

Memahami fiqih jual beli menjadi suatu kebutuhan bagi umat Islam, karena hampir setiap hari kita melakukan transaksi jual beli. Apalagi bagi pedagang, lebih dianjurkan lagi. Pengertian jual beli itu sendiri adalah tukar menukar harta dengan memberikan kepemilikan kepada salah satu pihak. Rukun jual beli ada 3: ada orangnya, ada akadnya, dan ada objek akadnya.

Syarat orang yang jual beli tidak disyaratkan harus beragama Islam. Rasulullah pernah berjual beli dengan orang Yahudi. Syaratnya, transaksi yang dilakukan dengan nonIslam harus sesuai dengan syariat Islam. Adapun syarat jual beli adalah: baligh, berakal, dan tidak terpaksa. Seseorang dikatakan baligh, bagi laki-laki sudah mimpi basah, bagi perempuan sudah mengalami haid. Nah, bagaimana kalau jual belinya dilakukan oleh anak-anak? Misalnya, anak SD yang beli jajan di kantin sekolah. Apakah sah akad jual belinya? Kalau sah, boleh dong harusnya kalau anak-anak ini beli motor? Kalau tidak sah, berarti anak ini tidak membeli barang, tetapi merampasnya. Ijma’ (kesepakatan) ulama adalah bahwa anak-anak boleh melakukan jual beli sebatas yang dibutuhkan saja. Ulama mengecualikan larangan dari Allah terhadap jual beli yang dilakukan oleh anak-anak yang ada di Al Quran surat An Nisaa ayat 6: “Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin. Kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya… “.

Syarat berakal, berarti orang tersebut tidak kehilangan akalnya ketika bertransaksi. Maka tidak sah hukumnya jual beli dengan orang gila. Namun, bagaimana dengan jual beli dengan orang mabuk? Ulama membolehkan kita bertransaksi dengan orang yang sedang mabuk. Yang dimaksud dengan rukun jual beli “tidak terpaksa” adalah jika seseorang membeli bukan karena dipaksa oleh penjual, atau menjual bukan karena dipaksa oleh pembeli. Adapun seseorang yang terpaksa menjual tanahnya untuk membayar biaya pengobatan anaknya, tetap sah karena keterpaksaan ini datangnya dari keadaan, bukan dari lawan juga. Keterpaksaan yang dibolehkan adalah jika dilakukan oleh pemerintah yang pemanfaatan pembeliannya bagi kepentingan umum, sebagaimana dicontohkan Umar bin Khattab ra dan Usman bin Affan ra ketika meluaskan Masjidil Haram. Namun, disyaratkan harus diberikan ganti rugi yang adil dari pihak pemerintah dan diberikan secepatnya. Bila tanpa imbalan atau tidak adil gantinya dari pemerintah, maka tidak dibolehkan. Islam tetap menghargai kepemilikan harta perorangan. Penjualan terpaksa lain yang dibolehkan adalah jika diputuskan oleh pengadilan bahwa yang bersangkutan harus menjualkan barangnya untuk melunasi hutang-hutangnya.

Rukun kedua tentang akad maksudnya adalah adanya ijab qobul antara penjual dan pembeli. Ijab artinya penyerahan. Qobul artinya menerima. Apakah harus diucapkan lisan ijab qobulnya sebagaimana ketika ijab qobul nikah? Jumhur ulama sepakat bahwa tidak harus demikian. Contohnya adalah jual beli di supermarket. Pihak supermarket tidak pernah mengucapkan telah menjual suatu barang. Kita selaku pembelinya juga tidak pernah mengucapkan bahwa kita beli susu merk ini dengan berat ini seharga sekian ketika di kasir, cukup ambil susunya, kemudian bayar dan pergi. Namun, kedua belah pihak telah menyepakati adanya akad jual beli. Apa tandanya? Bagi penjual tandanya adalah memberikan label harga di barang jualannya dan memajangnya. Kalau nggak niat menjual, buat apa dilabeli harga? Bagi pembeli, qabul membelinya adalah ridhonya menyerahkan uang di kasir sebagai tanda membeli barang itu.

Ulama yang berbeda tentang tidak sahnya jual beli tanpa akad yang diucapkan lisan adalah Imam Syafii. Menurut beliau, jual beli tanpa akad adalah tidak sah, barangnya rampasan dan uang yang diberikan juga rampasan. Nah, orang Indonesia kan ngakunya mazhab Syafii. Jadi ya harus diucapkan setiap kali transaksi. Pas bayar angkot harus bilang dan supirnya harus bilang juga. Kalau nggak, ya nggak sah bayar angkotnya. Kita naik angkotnya dosa, pak supir dapat duit dari angkotnya juga dosa karena hasil merampas. Hehehe… Apa dalilnya Imam Syafii berpendapat demikian? Allah berfirman di Al Quran surat An Nisaa ayat 29: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu….” Beliau menafsirkan bahwa perniagaan yang suka-sama-suka (saling ridho) harus terucapkan, kalau diam-diam saja belum tentu ada keridhoan di antara penjual dan pembelinya. Jumhur ulama mengatakan bahwa betul Allah menyebutkan tentang harusnya saling ridho dalam perniagaan, tetapi tidak harus diucapkan, keridhoan itu bisa ditampakkan dari perbuatan atau dituliskan, sebagaimana telah disebutkan sebelumnya.

Rukun ketiga adalah objek yang dijualbelikan. Syarat pertama adalah barangnya harus benda suci (bukan najis). Rasul bersabda “Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya telah mengharamkan menjualbelikan khamr, bangkai dan babi”. Maka seluruh najis haram dijualbelikan. Benda najis contohnya kotoran manusia dari qubul dan dubur. Boleh dilakukan bisnis sedot tinja, yang tidak dibolehkan adalah tinja hasil sedotan itu kemudian dijual kepada pihak lain. Menurut Imam Syafii, kotoran ayam, kambing, dan sapi juga termasuk benda najis. Dengan demikian, tidak boleh dijualbelikan. Sedangkan menurut Imam Hambali, benda-benda tersebut tidak najis. Mayoritas ulama menguatkan pendapat Imam Hambali ini. Dalil pendapat Imam Hambali adalah adanya tindakan Rasul yang mengobati penduduk dengan meminum air susu unta dicampur dengan air kencing unta.

Syarat kedua adalah manfaat dari benda tersebut tidak diharamkan. Contohnya, tidak bolehnya menjualbelikan narkotika. Meskipun narkotika bukan benda najis, tetapi penggunaannya diharamkan oleh agama. Yang masih jadi perbedaan pendapat ulama kontemporer adalah tentang rokok. Ulama yang mengharamkan rokok, berarti otomatis haram baginya untuk menjualbelikan rokok. Adapun ulama yang membolehkan, berarti tidak ada masalah untuk berjual beli rokok. Jual beli berhala juga diharamkan meskipun bukan benda najis karena pemanfaatannya untuk menyekutukan Allah SWT.

Syarat ketiga adalah benda tersebut dimiliki terlebih dahulu. Pada poin ini yang banyak dilanggar. Syarat “tidak memiliki” yang dibolehkan adalah menjadi perantara, atau seseorang meminta kita untuk menjualkan suatu barang atau jasa. Meskipun bukan milik penjualnya, tapi adanya akad perintah menjualnya ini yang diperbolehkan. Dalinya adalah larangan Rasulullah kepada Hakim bin Hizam, jangan jual barang yang belum dimiliki. Adapun larangan ini dikecualikan dalam dua akad: salam dan istisna’. Mengapa? Karena ada dalil lain dari Rasulullah yang membolehkan dua akad tadi. Akad salam adalah menjual sesuatu yang telah jelas sifatnya namun belum ada bendanya saat akad, dengan harga yang dibayar di awal transaksi. Dalilnya adalah sebuah hadits Rasulullah ketika datang ke Madinah dan menemukan penduduknya melakukan hal ini pada buah untuk masa satu atau dua tahun, maka beliau bersabda, “Siapa yang melakukan jual beli al-salaf (secara salam), maka hendaklah melakukannya dalam takaran dan timbangan yang jelas (dan) untuk jangka waktu yang jelas pula”. Contoh yang ada sekarang misalnya kita membeli tiket kereta untuk bulan depan. Barangnya belum ada saat itu, baru kita nikmati bulan depan, tetapi sah secara syariat Islam. Istisna’ adalah pesan untuk minta dibuatkan kepada penjual. Contohnya adalah pesanan membangun rumah kepada seorang kontraktor rumah. Dari kaidah fiqih jual beli, terlihat melanggar karena barang yang dijualbelikan tidak ada dan tidak dimiliki oleh penjual. Tetapi, ijma’ ulama memutuskan dibolehkannya jual beli seperti ini.

Syarat keempat adalah bahwa barang dan harganya jelas. Contoh, ada pemilik rumah yang memberitahukan bahwa rumahnya dijual seharga 400 juta jika dibayar tunai di awal, tapi jika dibayar per bulan selama 2 tahun maka menjadi 18 juta per bulan. Si pembeli kemudian masuk dan menempati rumah tersebut sebelum terjadinya kesepakatan apakah akan membeli secara tunai atau secara mencicil. Harus jelas harga mana yang diambil atau disepakati antara penjual dan pembeli sebelum terjadinya akad jual beli. Adapun barang juga harus jelas wujudnya. Caranya dengan melihat langsung atau dengan dijelaskan spesifikasi barangnya oleh penjual. Yang tren sekarang seperti jual beli melalu media BBM atau whatsapp dan website, termasuk ke dalam cara untuk menjelaskan wujud barang. Jika nanti penjual tidak mengirimkan barang sesuai dengan spesifikasinya, maka penjual telah berdosa karena membohongi pembeli.

Syarat kelima adalah tidak adanya gharar dan riba. Gharar adalah jual beli dengan ketidakjelasan, contohnya: saya menjual sepetak tanah dengan harga sekian juta rupiah. Sepetak tanah tidak bisa didefinisikan ukuran dan lokasinya. Jual belinya harus menyertakan berapa ukuran tanahnya dan berada di lokasi mana. Adapun riba adalah jual beli yang meminta tambahan dalam menjual harta tertentu. Contohnya jual beli motor dengan bunga sekian persen. Islam tidak melarang jual beli kredit, dengan syarat harganya disepakati di awal dan tidak ada perubahan harga di tengah-tengah cicilannya. Detail jual beli gharar dan riba ini panjang. Detail fiqih jual beli juga masih lebih panjang. Monggoh ditanyakan detailnya ke ustadz yang faqih atau membaca buku referensi yang shahih.

Semoga bermanfaat ilmunya bagi kita semua. Aamiin…

Referensi:
1. Fiqh Muamalah Jual Beli dalam Islam: http://www.youtube.com/watch?v=BZUyF1spfuc
2. Harta Haram Muamalat Kontemporer karya Dr Erwandi Tarmizi
3. Ushul Fiqih Ringkas karya Ahmad Sarwat, MA
4. Film Seri Umar bin Khattab episode 24: http://www.youtube.com/watch?v=QOUBzzJFX0k
5. Ilmu-ilmu penulis yang didapatkan dari berbagai sumber dan guru

Keberkahan Rezeki

kalau rezeki kita seringnya datang dari rutinitas dan gampang kita duga, mungkin kita belum jadi hamba yang bertaqwa (QS Ath-Thalaaq: 2-3)

Nabi Ibrahim as menggambarkan hubungannya dengan Allah SWT dalam beberapa kalimat yang luar biasa. Detailnya dapat dilihat pada QS Asy Syu’ara ayat 78-82. Salah satunya adalah “dan Tuhanku, Yang Dia memberi makan dan minum kepadaku”. Kalimatnya sederhana, tetapi memiliki kekuatan iman luar biasa. Kita mengira bahwa satu-satunya jalan rezeki kita adalah angka gaji atau pekerjaan kita. Rezeki itu sangat luas dengan kebaikan-kebaikan yang dijaminkan oleh Allah SWT. Yang keluar masuk menjadi manfaat, namanya rezeki. Disebut rezeki berkah kalau keluar masuknya memberi manfaat sekaligus menguatkan ketaatan dan ibadah kita kepada Allah.

Gambaran hakikat rezeki sudah diajarkan orangtua saat kita masih kecil melalui senandungnya, Cicak-Cicak di Dinding. Kalau kita memosisikan diri sebagai cicak yang bisa berpikir, mungkin kita akan komplain kepada Allah SWT, bahwa Allah SWT sudah salah desain. Kita adalah cicak yang hanya bisa merayap, tetapi Allah SWT ciptakan makanannya berupa nyamuk yang bisa terbang ke mana-mana. Lantas, bagaimana caranya cicak ini bisa makan dengan kondisi demikian. Coba ingat lagi lirik lagunya. Ternyata bukan cicak yang mengejar nyamuk, melainkan nyamuk itu sendiri yang datang kepada cicak. Hap, lalu dimakan 😀 Subhanallah!

Rezeki itu bukan yang tertulis di angka-angka gaji. Bagi perempuan yang belum menikah, ketika nanti menyeleksi calon suami, jangan cuma dilihat angka gajinya, lihat juga potensi rezekinya. Ada orang yang gajinya besar, tetapi rezekinya kecil. Kok bisa? Ada laki-laki bergaji 100 juta per bulan, tetapi mau makan gurih, dilarang dokter karena kolesterolnya tinggi. Mau minum manis, ada diabetesnya. Mau makan yang asin, ada hipertensinya. Sebagian dari rezeki itu sudah diambil kenikmatannya oleh Allah SWT.

Jangan juga mengira rezeki itu apa yang dipunya atau bisa dibeli. Di Jogja, ada pengusaha rumah makan yang memilik omzet miliaran per bulan, tidak bisa tidur di kasur karena punggungnya sakit. Tidurnya harus di atas tikar pandan dari Magelang, tidak bisa menggunakan tikar dari daerah lain. Hanya dari tikar itu, dia bisa tidur. Selain itu, nggak bakalan bisa tidur.

Rezeki itu betul-betul karunia Gusti Allah. Makanan lezat dan mahal bisa dibeli, tapi kadang-kadang lezatnya makan dikaruniakan Allah SWT hanya kepada nasi putih dan sambel bawang. Ranjang yang empuk bisa dibeli, tapi nikmatnya tidur kadang dikaruniakan Allah lewat nikmatnya tidur di trotoar beralas koran.

Ada seseorang yang punya penghasilan 5 dirham (sekitar Rp 500.000,00) sehari datang kepada Imam Syafi’i. Dia mengadu kepada Imam Syafi’i, bahwa penghasilannya itu tidak cukup memenuhi kebutuhan rumah tangganya, istrinya selalu mengeluh dan cemberut, anaknya bandel susah diatur, rasanya dunia begitu sempit baginya. Kemudian Imam Syafi’i memberi nasihat, nanti datang ke majikanmu lalu mintalah upah darinya 4 dirham saja sehari.

Beberapa pekan berlalu, datanglah kembali orang ini. Dia menceritakan kepada Imam Syafi’i, dengan upahnya yang 4 dirham sehari, kebutuhan keluarganya ternyata lebih dapat dicukupi, tetapi istrinya masih cemberut dan anak-anaknya masih sering ngeyel. Kemudian Imam Syafi’i memberikan nasihat lagi, kalau begitu nanti datang ke majikanmu dan mintalah upah untukmu hanya 3 dirham saja sehari.

Setelah upahnya hanya 3 dirham sehari, kehidupan rumah tangganya membaik, istrinya semakin banyak senyum, anak-anaknya semakin taat, sholeh, berbakti kepada orang tuanya. Imam Syafi’i menjelaskan penyebabnya: “Sebab jika engkau bekerja dan pekerjaanmu hanya layak dibayar 3 dirham lalu engkau mengambil yang 5 dirham, maka yang 2 dirham itu tidak halal bagimu. Setiap kali yang haram mencampuri yang halal, pasti akan merusaknya. Adapun ketika sesuatu itu bersih dan halal, maka Allah memberkahinya: menjadikannya kecukupan, kebaikan dan kebahagiaan”.

Maka kalau pekerjaan Anda, masuk kantor, absen, baca koran, main pingpong, ngobrol-ngobrol, masuk kantin, ngopi-ngopi, nonton TV lalu digaji oleh rakyat senilai 10 juta sebulan, kedzoliman apa yang sedang Anda masukkan ke dalam diri Anda sendiri? Hanya menyampaikan bahwa hakikatnya demikian: pekerjaan yang layak dibayar tinggi tetapi Anda peroleh rendah, maka Anda sedang menabung kebaikan-kebaikan yang sangat banyak. Tapi pekerjaan yang sangat sepele dan remeh dan tidak ditunaikan dengan baik, sementara gajinya tetap dibayar penuh, Anda sedang menanggung keburukan-keburukan.

Tugas kita selaku manusia adalah bekerja karena bekerja itu hakikatnya adalah ibadah. Di mana Allah letakkan rezeki, semakin banyak kejutannya, mudah-mudahan semakin tanda bahwa kita orang bertaqwa. Ketika Siti Hajar bolak-balik ke Shofa dan Marwa’ sebanyak 7 kali mencari sumber air untuk bayinya yang bernama Ismail as, ternyata sumber airnya memancar di dekat kaki Ismail as. Itulah hakikat rezeki dari Allah SWT. Allah SWT letakkan di manapun dia suka, mudah-mudahan semakin penuh kejutan, itu tanda kita bertaqwa, agar kita lebih mudah bersabar dan bersyukur.

disarikan dari sebagian tausiyah Salim A Fillah di sini

Fiqh Waris (Pertemuan Ketiga)

bismillah, mau berbagi #ngaji tentang waris siang tadi di masjid kantor @kemkominfo. pertemuan kali ini adalah yang ke-3 dari 14 pertemuan

pada dua pekan lalu, ustadz-nya sakit. pekan sebelumnya, jadwal beliau ngisi di tempat lain #ngaji

pembagian waris dalam islam dilakukan berdasarkan tiga sebab, yaitu: nikah, wala’, dan nisab hakiki #ngaji

pewarisan karena nikah artinya nikah di sini adalah yang memenuhi syarat dalam hukum islam #ngaji

ada fatwa nikah thalaba’ yang dikeluarkan oleh mufti mesir ali jumu’ah. hukum pernikahannya adalah tidak sah #ngaji

nikah thalaba’ adalah nikah yang dilakukan oleh mahasiswa di mesir, yang setelah menikah, kebutuhannya masih ditanggung oleh keluarga #ngaji

si laki-laki ditanggung oleh keluarga laki-laki, demikian juga si perempuan. dan keduanya tinggal terpisah, di masing-masing keluarga #ngaji

bagi pasangan yang bercerai, bagi masing-masing masih ada hak warisnya selama cerainya belum jatuh talak tiga #ngaji

anak yang diperoleh dari pasangan bercerai tetap memperoleh hak waris, meskipun cerai talak tiga #ngaji

karena itu, hati-hati dalam mengurus perceraian. pastikan betul akad talaknya, untuk talak cerai berapa #ngaji

tidak cuma untuk penentuan hukum waris saja. untuk talak pertama dan kedua, masih dapat rujuk tanpa ada syarat tertentu #ngaji

bagi pasangan yang cerai talak tiga,baru boleh rujuk jika setelah ‘iddah,pihak wanita menikah lagi,dan maaf,sudah berhubungan badan #ngaji

setelah dia bercerai dengan pasangan keduanya, baru boleh dia rujuk kembali dengan suami sebelumnya #ngaji

adapun jika ada rekayasa untuk bercerai dari suami kedua ini, maka hukum pernikahan kedua dan ketiganya tidak sah. jatuhnya ke zina #ngaji

kedua adalah pewarisan karena wala’, yaitu berlaku pada budak. saat ini, tidak berlaku lagi karena tidak ada budak #ngaji

jadi, yang memerdekakan budak, memiliki hak waris atasnya. contohnya Umar ra yang punya hak waris atas Bilal #ngaji

maaf, yang membebaskan Bilal ra bukan Umar ra, tetapi Abu Bakar ra #ngaji

ketiga adalah pewarisan karena nasab hakiki. ini karena hubungan darah: orang tua, saudara kandung, anak, paman dan sebagainya #ngaji

ilmu waris menggunakan dua kaidah: kaidah fiqh dan kaidah hitungan, untuk mengetahui hak waris setiap ahli waris #ngaji

dalam pernikahan, harta waris dari orang tua istri ke istri tidak otomatis menjadi milik suami #ngaji

di dalam islam, kepemilikan harta diakui berdasarkan kepemilikannya. islam tidak mengakui adanya harta gono-gini #ngaji

dalam sebuah pernikahan, harta suami belum menjadi hak milik istri, kecuali sudah diakadkan demikian #ngaji

misalnya, suami membeli mobil untuk istrinya. namun bpkb dan stnk masih atas nama suami. maka, istri hanya punya hak pakai #ngaji

jika suami meninggal, mobil itu masuk ke dalam harta yang diwariskan untuk ahli warisnya, tidak otomatis menjadi milik istri #ngaji

muslimah yang cerdas akan meminta hak mobil itu secara penuh, yaitu dengan meminta izin suami mengganti bpkb dan stnk atas nama istri #ngaji

bagi anak yang dihasilkan di luar pernikahan, maka baginya tidak ada hak waris dari kedua orang tua kandungnya #ngaji

demikian juga kedua orang tua kandungnya. mereka tidak punya hak waris atas si anak jika si anak meninggal terlebih dahulu #ngaji

anak ini nasabnya tidak diikutkan kepada sang ayah, tetapi kepada ibunya #ngaji

jika si anak ini perempuan dan menikah, maka si ayah, paman, adiknya, tidak boleh menjadi wali #ngaji

walinya harus wali hakim karena si anak tidak ada garis nasabnya #ngaji

jadi mohon diingatkan jika ada keluarga, tetangga, teman yang kita ketahui bahwa dia atau anaknya akibat hamil di luar nikah #ngaji

tidak ada haknya atas waris juga tidak ada perwalian pernikahan baginya #ngaji

tapi si anak boleh menerima hadiah dari orang tuanya, yang besarnya tidak boleh lebih dari 1/3 harta yang akan diwariskan #ngaji

demikian berbagi #ngaji yang saya peroleh di kantor hari senin kemarin. semoga bermanfaat bagi kita semua. maaf mengganggu linimasa 😀

Fiqh Waris

berikut adalah #ngaji yang saya posting di twitter @akhdaafif, senin 9 september kemarin. semoga bermanfaat

bismillah… mau berbagi #ngaji siang tadi, ba’da dzuhur di masjid kantor. jadi setiap senin, temanya tematik tentang fiqh mawarits

fiqh mawarits adalah salah satu cabang dalam fiqh islam yang membahas tentang hukum dan solusi masalah waris #ngaji

pertemuan siang tadi adalah pertemuan kedua. sebelum ada ayat tentang waris, hukum jahiliyahlah yang menentukan pembagian waris #ngaji

beberapa poin hukum itu adalah: perempuan tidak dapat bagian waris; laki-laki yang ikut berperang punya hak bagian waris #ngaji

suatu ketika, datanglah istri seorang sahabat ke rasul, beserta dua oramg anak perempuannya. suaminya baru saja meninggal #ngaji

dia mengadu bahwa harta warisan suaminya telah diambil seluruhnya oleh keluarga suaminya. tak ada satupun yang ditinggal #ngaji

padahal ia perlu harta itu untuk menghidupi dirinya dan kedua anaknya. adapun keluarga suaminya yang mengambil ini muslim #ngaji

tetapi karena memang hukum jahiliyah menyatakan tidak ada waris untuk perempuan, maka memang tidak ada waris untuk istri dan anak #ngaji

rasul terdiam karena saat itu memang belum ada hukum islam tentang waris. kemudian turunlah surat an nisaa ayat ke-7 #ngaji

monggoh dibuka qurannya. kalo yang fisik sudah berdebu, bisa install di smartphone-nya 🙂 #ngaji

di ayat tersebut, Allah menegaskan bahwa baik laki-laki maupun perempuan, dapat hak untuk waris #ngaji

kemudian turunlah detail jatah waris itu yaitu surat an-nisaa ayat 11 dan 12. dari dua ayat itu, rasul kemudian bersabda #ngaji

beliau menemui keluarga si suami. karena anak yang ditinggalkan ada dua dan perempuan semua, maka haknya adalah 2/3 (ayat 11) #ngaji

kemudian istri yang ditinggalkan, karena ada anak, maka dia mendapatkan 1/8 #ngaji

adapun saudara kandung si suami, ia memperoleh hak waris karena tidak ada anak laki-laki dari si suami #ngaji

jadi, dua anak perempuan dapat 2/3, istri 1/8, saudara kandung dapat sisanya, 5/24 #ngaji

di hadits tersebut, tidak disebutkan bahwa rasul melakukan pembagian harta waris, yang dilakukan hanya menentukan #ngaji

artinya apa? bahwa berbicara waris, jangan berbicara tentang pembagian atau harta terlebih dahulu. utamanya adalah menentukan #ngaji

menentukan apa? orang-orang yang berhak memperoleh waris (ahli waris). kapan dibaginya? terserah kesepakatan ahli warisnya #ngaji

hukum Allah harus dilaksanakan terlebih dahulu. supaya tidak ada yang terdzolimi. dan tidak ada yang terambil hak-haknya #ngaji

dianjurkan dalam penentuan ahli waris ini sebelum mayit dikuburkan. jadi seluruh urusan mayit selesai ketika dia sudah di liang lahat #ngaji

ditentukan dulu! pembagian urusan belakangan. memang harus siap mental kalau begini. siap dikata-katain ‘orang nggak tahu diri’ #ngaji

atau ‘tanah kuburannya aja masih basah, kok udah ngomong warisan!”. itu risiko. ini upaya kita njalanin hukum Allah dan rasul #ngaji

demikian #ngaji tentang fiqh mawarits yang saya peroleh siang tadi. semoga ada manfaatnya untuk kita semua. maaf sudah menuhin linimasa 🙂

 

Toleransi Natal

Aside

Sebuah rangkaian tweet menarik dari Salim A Fillah tentang Natal. Semoga bermanfaat buat kita semua.

1. Natal ini, terkenang ujaran Allahu yarham KH Abdullah Wasi’an (kristolog Jogja -red); “Saudara-saudaraku Nashara terkasih, beda antara kita tidaklah banyak.”

2. Wasi’an: “Kalian mengimani Musa, juga ‘Isa. Kamipun sama. Tambahkanlah satu nama; Muhammad. Maka sungguh kita tiada beda.”

3. Wasi’an: “Kalian imani Taurat, Zabur, & Injil. Kamipun demikian. Tambahkan Al Quran, maka sungguh kita satu tak terpisahkan.”

4. Sungguh adanya kerahiban jadikan kalian lembut hati & dekat pada kami; sementara Yahudi & musyrik musuh terkeras kita. (QS 5: 82).

5. Tapi mungkin memang sudah tabiat ‘aqidah, satu sama lain tak rela jika kita tak serupa dalam agama secara sepenuhnya. (QS 2: 120).

Continue reading

Hikmah dari Bandung

Waktu itu, saya berkunjung ke seorang rekan. Ketika sholat maghrib, kami berdua sholat di masjid, dekat mall BIP. Setelah sholat, ternyata ada kajiannya. Berikut yang saya peroleh dari kajian tersebut, telah saya share di akun twitter saya, @akhdaafif. Semoga bermanfaat

(1) kali ini mau berbagi #ngaji yang saya dengarkan kemarin malam di masjid sekitar BIP Bandung bareng @fahmimachda

(2) habis singgah untuk sholat maghrib, eh ternyata ada sesi #ngaji .berikut apa yang disampaikan beliau

(3) bahwa siksa kubur itu benar-benar ada. seseorang setelah meninggal, di alam kuburnya akan diberikan siksa dan nikmat kubur #ngaji

(4) semuanya tergantung amalan orang tersebut selama berada di dunia #ngaji

(5) suatu ketika datang seorang wanita yahudi menghadap rasul, meminta doa untuk dijauhkan dari azab kubur #ngaji

(6) aisyah ra yang mendengarnya kemudian bertanya kepada rasul, apakah benar ada siksa kubur? rasul mengiyakan #ngaji

Continue reading

Tentang Bu Ita

(1) mau berbagi #ngaji @ChatingdenganYM edisi jumat malem pekan kemarin. subhanallah hikmah yang didapet

(2) kisahnya tentang bu ita, seorang ibu yang jadi tukang ojek, pedagang, dan tukang cuci #ngaji

(3) beliau sudah 7 tahun menekuni pekerjaan itu. tidak ada pilihan karena suaminya terkena stroke. usia suaminya sekarang 46 tahun #ngaji

(4) anaknya dua. satunya sudah lulus smk. yang bungsu kelas 3 smp #ngaji

(5) pagi abis subuh dia berangkat ngojek. jam 8 kembali ke rumah, memandikan dan menyuapi sarapan suaminya #ngaji

(6) sambil ngojek, beliau dagang susu kedelai. malamnya baru mberesin cucian. luar biasanya, beliau nyuci dengan tangan #ngaji

Continue reading