Catatan dari Kaiserslautern: Jalan-Jalan di Jerman

Salah satu hal yang saya nikmati dari tinggal di Kaiserslautern atau Jerman adalah nyaman dan terjangkaunya transportasi umum. Di TU Kaiserslautern, tempat saya kuliah, ada fasilitas tiket semester yang terintegrasi dengan kartu mahasiswa. Hanya dengan menunjukkan kartu mahasiswa, saya bisa gratis naik semua bus lokal di Kaiserslautern. Bahkan tidak hanya di Kaiserslautern saja, kartu mahasiswa bisa membawa saya bertualang gratis hingga ke Heidelberg, Mannheim, Ludwigshafen, Zweibrucken, hingga Wurzburg di Bayern. Ya namanya juga paket mahasiswa, yang bisa gratis ya transportasi bus dan kereta lokal, tidak termasuk ICE (kereta super cepatnya Jerman).

Rahasianya ada di penyelenggara transportasi publik di Rheinland-Pfalz, salah satu negara bagian di Jerman tempat saya tinggal. Namanya VRN (Verkehrsverbund Rhein-Neckar). Daerah yang dikelolanya adalah Baden-Württemberg, Rhineland-Pfalz dan Hesse di barat daya Jerman. Saya sertakan petanya supaya ada gambaran area yang bisa dijangkau gratis oleh kartu mahasiswa yang saya miliki:

vrn area

Lumayan luas kan? Nah, yang saya tahu, area gratis ini tergantung dari kebijakan kerjasama masing-masing kampus. Detailnya saya kurang memahami. Intinya sih, mahasiswa yang kampusnya beda, bisa jadi beda area yang bisa gratis dikunjungi dengan bus dan kereta.

Selain fasilitas kartu mahasiswa untuk transportasi gratis, Jerman juga sangat ramah bagi mereka yang senang jalan-jalan. Ada fasilitas Schönes-Wochenende-Ticket (Happy Weekend Ticket), yaitu tiket akhir pekan di Sabtu atau Minggu untuk jalan-jalan di seluruh area Jerman. Tiket ini harganya 44 euro. Maksimal berlaku untuk 5 orang. Semua kereta dan bus lokal bisa kita gunakan. Kalau dihitung-hitung, setiap orang hanya bayar 8,8 euro. Terjangkau kan?

Tiket ini juga yang kami gunakan untuk jalan-jalan pengajian pekan lalu ke Aachen. Kami berangkat dari Kaiserslautern pukul 05.21 dan sampai kembali sekitar pukul 23.30. Untuk perjalanan di kereta saja bolak-balik perlu waktu 11-12 jam. Nikmat betul lah perjalanan sejauh itu ditempuh dalam satu hari. Belum lagi, medan jalannya ke Dreiländer Punkt (perbatasan tiga negara: Jerman, Belanda, Belgia) luar biasa, menanjak ketika berangkat, menurun ketika pulang, disertai hujan deras saat perjalanan.

Jalan-jalan di Jerman tidak selalu mahal. Dengan sering mencari informasi, kita bisa mendapatkan jalan-jalan murah, bahkan gratis. Kalau infrastruktur di Indonesia sudah baik, banyak kereta lokal, dan dibangun jalur-jalur yang menjangkau banyak daerah, akibatnya tiap akhir pekan banyak orang bisa jalan-jalan di sekitar daerah tinggalnya. Ekonomi daerah mungkin juga bisa lebih hidup dari sektor pariwisata. Mudah-mudahan harapan ini ke depan bisa diwujudkan.

Catatan dari Kaiserslautern: Lebaran

Menjalani puasa Ramadhan dan berhari raya ‘Idul Fitri tanpa keluarga, ditemani anak istri, memang terasa betul bedanya. Rasa kangen sedikit terobati ketika mengobrol dengan istri di Whatsapp, melihat foto Carissa yang semakin pintar tingkahnya. Kalau Carissa dan bundanya lagi senggang, tidak repot, happy, dan koneksi bagus, baru kami bertiga bisa ngobrol langsung lewat video call Line. Ya risiko LDR setelah menikah dan punya anak ya begini. Kami berdua tahu risikonya dan memahaminya bahkan sebelum kami menikah. Tapi kenyataan sering lebih pahit dari apa yang kita bayangkan, bukan? Hahahah…. Ya, mudah-mudahan Allah kuatkan keluarga kami yang berjauhan, memberikan keberkahan atas apa-apa yang sedang keluarga kami jalani. Aamiin…

Berlebaran pertama kali di Jerman pastinya berbeda dengan di tanah air. Malam takbiran terasa sepi. Saya sendiri takbiran di kamar, ditemani udara dingin malam dari jendela. Kalau capek, istirahat sebentar, minum atau nyemil. Kemudian, takbiran dilanjutkan sendiri. Malam itu, saya tidak bisa tidur. Soalnya tidur sorenya terlalu lama 😀 Juga cemas jika besok terlambat bangun untuk sholat ‘id. Maklum, 18 jam puasa telah mengacaukan sebagian jam tidur dan aktivitas saya.  Alhamdulillah, esok paginya saya tidak terlambat sholat ‘id. Saya memilih sholat ‘id di masjid Arab yang ada di Kaiserslautern. Jadwal sholat ‘id dimulai pukul 08.30. Tetapi saya sudah datang pukul 08.00. Suasana masjid masih cukup sepi. Sambutan ‘Ied Mubarak dari pengurus masjid menyapa hangat kami di pintu masuk.

Di dalam masjid, tidak ada takbiran seperti halnya di Indonesia. Masing-masing jamaah melantunkan takbir lirih. Saya pun mengikuti tradisi yang ada. Daripada risiko takbiran dengan lantang, malah berabe diliatin orang-orang semasjid 😀 Yang menarik perhatian saya adalah, sebelum dimulainya sholat ‘ied, panitia memberikan piagam penghargaan dan hadiah kepada pengurus yang telah berpartisipasi pada kegiatan Ramadhan di masjid. Hal seperti ini belum ada di Indonesia. Mungkin bisa diterapkan untuk memberikan motivasi kepada pemuda supaya lebih giat beraktivitas di masjid, khususnya pada bulan Ramadhan.

Pelaksanaan sholat ‘ied juga berbeda dengan di Indonesia. Makmum tidak mengikuti imam melakukan takbir tambahan pada rakaat pertama dan kedua. Jadi, ketika imam bertakbir, makmum ya diam saja. Karena di Indonesia terbiasa ikut takbir tambahan, ya saya lakukan saja. Baru setelah saya mencari informasinya, memang terdapat beberapa mazhab yang tidak mensyariatkan makmum untuk mengikuti takbir tambahan sholat ‘id. Alhamdulillah nambah ilmu lagi. Jadi jangan buru-buru bilang sesat ya kalau ada yang berbeda. Dicari dulu informasinya, siapa tahu memang ada mazhab yang menyebutkan demikian. Di Indonesia, kita banyak mengikuti pendapat Imam Syafii. Padahal, ada 3 mazhab lain yang juga diakui oleh kalangan ulama, dan menjadi rujukan juga bagi umat Islam di negara lain di dunia.

Selesai sholat ‘id, muslim Indonesia yang tinggal di Kaiserslautern sibuk berbelanja. Rencananya kami akan mengadakan acara makan-makan. Menunya memang tidak ada ketupat, opor, sambel goreng ati. Sangat repot untuk menyiapkan menu masakan itu. Sebagai gantinya, kami menyiapkan barbeque. Setiap pengunjung diharuskan membayar iuran 2 euro, kalau mau lebih ya diterima dengan senang hati 😀 Acara cukup rame, dihadiri sekitar lebih dari 25 orang, dan tidak semuanya muslim. Acara ini memang terbuka bagi siapa saja. Yang penting konfirmasi kehadiran dan bayar iuran, hahah… Beberapa foto sempat saya ambil dan saya posting di sini. Pulang acara, badan masuk angin dan kepala kliyengan. Mungkin karena cuaca dingin dan saya tidak memakai jaket. Penyakit bengek saya dari dulu, ya masuk angin. Bahkan di Jerman pun bisa masuk angin, hahah… Alhamdulillah setelah dibawa tidur, esok paginya badan segar kembali 😀

Sebagian besar dari kita sering keliru memahami hari raya ‘idul fitri sebagai momen penyucian diri, kembali kepada fitrah. Jika dilihat dari maknanya, ‘idul fitri terdiri dari dua kata. Kata pertama, ‘idul dalam bahasa Arab terdiri dari ‘ain, ya, dal. Artinya dalam bahasa Indonesia adalah “Hari Raya”. Adapun, fitri dalam bahasa Arab terdiri dari fa, tha, dan ra. Artinya dalam bahasa Indonesia adalah “Makan” atau “Makanan”. Jadi secara bahasa “Idul Fitri artinya adalah “Hari Raya Makan”. Tidaklah keliru jika salah satu sunnah Rasul sebelum sholat ‘id adalah makan besar, untuk membedakan dengan saat puasa selama Ramadhan yang baru saja berlalu. Karena itu, arti zakat fitr adalah dengan memberi makanan pokok kepada 8 golongan. Supaya pada “Hari Raya Makan” tersebut tidak ada lagi orang kelaparan dan bisa bersuka cita makan. Mungkin terdengar aneh bagi kita, tapi faktanya demikian. Inilah salah kaprah luar biasa dalam masyarakat kita.

Juga tentang kebiasaan berpuasa 6 hari di bulan Syawal, jangan kaget jika ada yang menyatakan bahwa puasa itu tidak ada dalilnya. Karena mazhab Imam Malik memang terang-terangan memakruhkan amalan tersebut. Jangan terburu-buru menyatakan Imam Malik sesat dan tidak tahu dalil. Kitab beliau Al Muwatho adalah karya terbesar dari ulama pada zamannya, karya terbaik sebelum munculnya Hadits Shahih Bukhori Muslim. Imam Malik menilai hadits ahad (tunggal) adanya puasa tersebut kalah kuat dibandingkan amalan penduduk Madinah saat itu. Mungkin bagi kita yang belum tahu, salah satu rujukan mazhab Maliki adalah amalan penduduk Madinah. Jika ada hadits tunggal shahih dan penduduk Madinah beramal berbeda dengan hadits tersebut, maka yang diambil pendapat terkuat adalah amalan ahli Madinah. Pada kasus puasa Syawal ini, penduduk Madinah tidak mengerjakannya. Namun, jika kita mengerjakannya pun tidaklah mengapa. Selain Imam Malik, semua ulama mazhab menghukumi sunnah puasa 6 hari di bulan Syawal. Hanya Imam Malik yang memakruhkannya.

Di akhir tulisan ini, saya mengucapkan selamat Hari Raya ‘Idul Fitri, selamat makan-makan. Taqabbalallahu minna wa minkum. Semoga Allah menerima amal ibadahku dan kita semua. Semoga juga Allah mempertemukan kita dengan Ramadhan berikutnya. Aamiin ya Rabbal ‘Aalamiin…

rujukan informasi:
1. Takbir Tambahan Sholat ‘Id
2. Makna Idul Fitri
3. Puasa Syawal Makruh?

Catatan dari Kaiserslautern: Memilih Presiden

Sepanjang sejarah pemilu Indonesia, baru pemilihan presiden tahun ini yang luar biasa ketatnya. Pertempuran di media sosial luar biasa hebohnya. Juga pertempuran darat di kantung-kantung suara yang tidak kalah serunya. Dengan adanya dua calon, membuat kita terpolarisasi. Kalau tidak pilih capres sini, ya pilih capres situ. Keramaian ini sayangnya tidak diikuti dengan sikap kedewasaan masing-masing pendukungnya. Perbedaan pilihan seolah menempatkan satu golongan berada di surga, dan golongan yang satunya berada di neraka. Yang mulanya berteman, karena berbeda pilihan akhirnya bermusuhan.

Padahal, guru-guru bangsa kita telah memberikan contoh. Aidit (PKI) adalah lawan politik Natsir (Masyumi) di parlemen. Saking emosinya, Natsir bilang rasanya ingin menghajar kepala Aidit dengan kursi. Tapi, hingga rapat selesai, tak ada kursi yang melayang ke kepala Aidit. Malah, begitu meninggalkan ruang sidang, Aidit membawakannya segelas kopi. Keduanya lalu ngobrol tentang keluarga masing-masing. Itu terjadi berkali-kali. Seusai rapat parlemen dan tidak ada tumpangan, Pak Natsir sering dibonceng sepeda oleh Aidit dari Pejambon.

Atau Buya Hamka yang dipenjara oleh Soekarno pada 1964-1966 atas tuduhan subversif. Sebelum Soekarno meninggal, beliau menyampaikan wasiat bahwa ia menginginkan sholat jenazahnya dipimpin oleh Buya Hamka. Dengan kebesaran jiwanya, Buya Hamka mengesampingkan apa yang telah diperbuat Soekarno kepada dirinya. Beliau menyanggupi dan memimpin sholat jenazahnya.

Besok adalah masa ketika negara memberikan ruang kepada setiap warganya untuk ikut menentukan siapa pemimpin negara ini 5 tahun ke depan. Betul bahwa memilih adalah hak warga negara, bukan kewajiban warga negara. Tapi, saya sangat menyarankan teman-teman menggunakan hak pilihnya. Satu suara kita adalah sumbangsih majunya Indonesia ke depan.

Di Jerman, saya sudah ikut memilih lewat pos. Surat suara dikirimkan oleh Panitia Pemilihan Luar Negeri Frankfurt (PPLN) Frankfurt. Suratnya saya terima hari Rabu, 2 Juli 2014. Setelah mencoblos, surat suara saya kirimkan hari Minggu, 6 Juli 2014. Untuk pencoblosan langsungnya, sudah dilakukan serentak di seluruh TPS yang ada di Jerman pada Sabtu, 5 Juli 2014. Adapun penghitungan suara dilakukan dua kali, yaitu pada 9 Juli 2014 dan 13 Juli 2014. Pada 9 Juli untuk menghitung surat suara hasil coblosan di TPS. Yang tanggal 13 Juli untuk rekapitulasi surat suara lewat pos.

Dan setelah pemilu usai, mari kita sama-sama mendukung siapapun presiden dan wakil presiden yang terpilih. Bagaimanapun, begitulah kehendak rakyat Indonesia saat ini. Kita besarkan jiwa, menerima kekalahan, dan menyiapkan kemenangan. Yang kalah mengakui yang menang. Yang menang merangkul yang kalah. Kita adalah satu bangsa. Kita adalah satu saudara. Kita bersama bangun bangsa dan negeri ini, untuk Indonesia Raya.

surat suara 1 surat suara 2

Catatan dari Kaiserslautern: Menemani Kesendirian

Kegiatan yang dilakukan sehari-hari sebagai mahasiswa ya kuliah dan belajar, pastinya. Total ada 7 mata kuliah+4,5 jam seminggu kursus bahasa Jerman level A2.1. Lumayan mabok, khususnya buat mahasiswa pas-pasan kayak saya. Selalu saya ingat pesan saya ke diri sendiri lewat tulisan ini biar tetap semangat 😀 Selain itu, sampai saat ini saya masih istiqomah untuk masak sendiri. Alhamdulillah. Mudah-mudahan bisa awet. Hehehe…  Jangan bayangkan masak level berat. Yang saya lakukan adalah menggoreng ayam, nuget, tempe, telur dan divariasikan dengan indomie rebus atau goreng. Kalau sarapan, sediakan sereal atau roti dengan selai. Ya, pinter-pinter ngaturnya aja, biar nggak bosen dan muak dengan sajian sendiri. Hahahaha….

Nah, selain kegiatan rutin itu, ada beberapa hal yang saya lakukan untuk menemani kesendirian saya di sini setiap harinya. Maklum, jauh dari anak istri. Komunikasi sama anak istri, orang tua, adek alhamdulillah lancar. Meskipun beda waktu, bisa lah dicari jalan tengahnya. OK, balik lagi ke topik awal. Ada banyak sih sebetulnya yang saya lakukan di sini. Awal datang, rekomendasi teman yang kasih link untuk belajar hadits dari sini. Banyak juga ternyata. Lumayan buat nambah ilmu. Terus ada rekomendasi nonton film Umar bin Khattab, khalifah kedua yang luar biasa kualitasnya. Monggoh bisa ditonton di sini. Pake subtitle bahasa Inggris. Tapi saya lebih menikmati bahasa Arabnya malah. Itung-itung sambil belajar. Oh ya, ada baiknya sudah baca Shirah Nabawiyah dulu. Biar lebih paham tokoh dan jalan ceritanya. Kalau nggak, juga nggak papa sih 🙂

Nah, yang lainnya adalah menonton Indonesia Lawak Klub dan Stand Up Comedy Indonesia (SUCI 4). Saya menyukai komedi. Sejak dulu adanya Srimulat, saya selalu berjaga di depan TV setiap Kamis malam jam 1/2 10. Ketika Srimulat redup dan stand up comedy menemukan panggungnya di Metro TV, saya pun menyukainya. Nah, momen nonton humor yang lagi ngetren ya dua itu. ILK dengan Cak Lontong, Komeng, dan kang Deny yang saya suka. Di SUCI 4, jagoan kita mah bang David dengan Betawinya yang satir sama bang Dzawin alumni pesantren yang gokil. Materi lawakannya nggak selalu lucu. Ada yang garing dan nyrempet-nyrempet bahaya. Tapi ya saya menikmatinya sebagai hiburan. Nggak gampang buat naskah untuk melawak seperti itu. Selain bakat, harus banyak riset dan pengalaman juga. Nah, bang Pandji adalah salah salah satu komik yang bisa dibilang sukses. Parameternya apa? Dia sudah tiga kali membuat konser stand up comedy. Terakhir, dia bisa melawak lebih dari 1 jam. Top lah!

Yang terakhir, saya senang menikmati program Music Everywhere-nya NET TV dari Youtube. Penyanyi yang ditampilkan OK. Dari jaman baheula sampai masa kini dan full dari Indonesia. Aransemen musiknya dikemas apik. Juga kualitas gambar HD yang wow. Saya suka penampilan utuhnya Sheila on 7, legenda dah nih grup! Tinggal nunggu Padi nih yang belum tampil. Ada Pilihanku-nya Maliq and D’Essentials, istri juga suka grup ini. Juga Gerangan Cinta-nya Java Jive, Selamat Ulang Tahun-nya Jamrud, Sepatu-nya Tulus. Ada tembang apiknya Bis Sekolah dan Bujangan-nya Eyang Koes Plus, performa full Kahitna, sama suguhannya Project Pop. Asik menikmati sambil ngerjain tugas atau melepas penat seusai kuliah. Terima kasih sudah mau mengunggah dan membiarkan perantau seperti saya menikmati kegembiraan kecil, hahah…

Mungkin aneh ya, belajar hadits, ndengerin lagu sama lawakan bisa barengan. Hahaha. Ya begitulah saya. Adanya begitu. Nggak perlu lah pencitraan ini itu, haha… Selamat menikmati Jumat penuh berkah. Terima kasih sudah mau membaca tulisan ini 🙂

Catatan dari Kaiserslautern: Serba-Serbi

Di catatan ini, saya mau bercerita random 😀

Pertama, tentang acara kumpul dengan teman-teman dari Indonesia. Media pertemuannya ada dua. Sabtu pagi kami bertemu di acara pengajian. Jumlahnya banyak dan sebagian besar masih muda, baru pada lulus SMA. Saya jadi berasa muda lagi 🙂 Biasanya pada tahun-tahun sebelumnya, jumlah anak Indonesia di Kaiserslautern tidak sebanyak itu. Tahun ini adalah tahun di mana jumlah anak Indonesia paling banyak. Yang hadir di pengajian saja hampir 30an. Belum ditambah teman-teman nonmuslim yang tidak datang. Pengajian kami bulan Maret bertempat di rumah salah seorang teman dari Malaysia. Kalau di Indonesia, kita sering gontok-gontokan dengan Malaysia, di sini kami bergabung. Sama seperti teman-teman dari Pakistan dan India. Secara politik mereka bermusuhan, tetapi di sini terlihat akur-akur aja.

Seusai pengajian, acara kumpul dilanjutkan dengan grillen. Bahasa Indonesianya, bakar-bakaran. Karena acaranya bergabung dengan teman-teman nonmuslim, kami berinisiatif membawa daging ayam dan sosis yang halal. Ini yang namanya toleransi dan tenggangrasa. Nggak masalah ngumpul dan ngobrol dengan teman-teman beda agama. Asalkan ya itu tadi, kita paham dengan menjaga diri dari apa yang halal dan haram. Acaranya berlangsung meriah. Karena ya itu tadi, yang datang banyak bener. Di acara ini, yang datang lebih beraneka ragam. Ada yang sudah 15 tahun di Jerman. Ada yang lama bekerja di sini. Obrolan diakhiri jam 7 malam dengan suasana riang. Saking banyaknya jumlah kami, ketika naik bus, supirnya tanpa memeriksa kartu semester kami. Bus pun langsung penuh dan berisik khas penumpang Indonesia 🙂

Nah yang kedua ini bener-bener nggak nyangka. Teman dari India menanyakan kepada saya, 1 Euro itu berapa nilainya kalau dihitung pakai mata uang saya. Saya jawab aja, sekitar 15.000-an Rupiah lah. Dia kaget bener. Kemudian dia ulangi pertanyaannya. Ya, saya jawab yang sama juga. Kok, banyak banget nol-nya. Dia semakin penasaran. Kemudian bertanya lagi: berapa gaji saya, berapa harga mobil BMW di Indonesia, berapa inflasi per tahun, berapa harga beras 10 tahun lalu dan saat ini. Yang membuat saya lebih kaget, ketika dia membandingkan Indonesia dengan Zimbabwe. What?? Saya bilang aja, kami tidak seburuk itu. Meskipun jumlah nol-nya banyak, kehidupan kami ya alhamdulillah masih normal. Dari obrolan dengan teman saya ini, saya sepakat usulan Bank Indonesia tentang redenominasi, hehe…

Terakhir, tentang salah seorang teman saya dari Pakistan. Suatu kali saat kami belajar bahasa Jerman bersama, tiba-tiba dia minta maaf ke saya. Lho, saya jadi bingung. Terus, dia ngelanjutin. Katanya, waktu pertama kali ketemu saya, dia mengira saya ini orang Cina. Haha, saya ketawa aja dengernya. Mana ada orang Cina item kayak saya, haha… Katanya, fisik saya mirip sama mereka. Bentuk wajah dan badannya gitu, kayak orang Jepang, atau bangsa-bangsa Asia Timur. Mirip dari Hongkong, batin saya 😀 Dia membandingkan dirinya yang orang Pakistan dengan orang India. Kalo pertama kali ngeliat, pasti nggak bisa mbedain. Untuk yang ini, saya sepakat dengannya, hehe…

 

Catatan dari Kaiserslautern: Heute lerne ich Deutsch

Hallo! Mein Name ist Akhda Afif Rasyidi. Ich komme aus Indonesien. Jetzt lebe ich in Deutschland. Ich bin 28 Jahre alt. Ich spreche natürlich Indonesisch, auch gut Englisch und ein bisschen Deutsch. Ich bin Student und arbeite als Informatiker in dem Regierungsbüro. Ich bin verheiratet. Ich habe eine Frau. Ihr Name ist Syifa Kifahi. Sie ist 27 Jahre alt. Sie arbeitet als Bänker. Wir haben eine Tochter. Sie ist ein Jahr alt. Ihr Name ist Carissa. Jetzt leben sie in Indonesien. Ich habe einen Bruder. Sein Name ist Zulhanief Matsani. Er arbeitet als Steuerberater. Er ist 27 Jahre alt und ledig. Jetzt lebt er in Indonesien. Meine Eltern leben auch in Indonesien.

Meine Hobbys sind Lesen, Blogschreiben, Fußball spielen und Badminton. Keinen Kaffee trinke ich, lieber trinke ich Tee. Ich kann nicht gut singen und tanzen. Meine Wohnung ist neben meiner Universität. Ich habe einen Tisch, zwei Stühle, einen Schrank, einen Computer, keinen Fernseher, kein Radio, und ein Bett in meiner Wohnung. Ich koche Reis, Huhn, Eier oder Rindfleisch. Am Morgen esse ich manchmal Müsli. Ich esse keinen frischen Fisch hier. Ich trinke Wasser, Tee, Milch und keinen Wein oder Bier.

Ich bin in Deutschland seit Februar. Ich bin nach Frankfurt geflogen. Ich habe die S-Bahn zu dem Bahnhof Kaiserslautern genommen. Am Bahnhof in Kaiserslautern hat Steven mich abgeholt. Jetzt ist in Kaiserslautern Frühling. Jetzt lerne ich Deutsch in meiner Universität. Der Unterricht fängt um 8.30 Uhr an. Meine Lehrerin lehrt sehr gut. Ich lese, höre, und spreche Deutsch in der Klasse. Am Montag, Dienstag, Donnerstag und Freitag lerne ich Deutsch. Ich lerne nicht am Mittwoch. Am Wochenende habe ich zu Heidelberg und Speyer besucht. Mit meiner Frau und meinen Eltern telefoniere ich am Samstag oder Sonntag vormittag. Letzten Samstag habe ich meine Freunde aus Indonesien getroffen. Wir haben gegrillt.

Catatan dari Kaiserslautern: Ke Trier

Pada Sabtu, 8 Maret lalu kembali saya mengikuti kegiatan jalan-jalan yang diadakan kampus. Kali ini lokasi tujuannya adalah kota Trier. Kalau dilihat dari peta, lokasi kota ini ada di barat daya Jerman, dekat dengan Luxemburg dan Perancis. Seperti biasa, kami berkumpul di stasiun Kaiserslautern. Untuk menghemat biaya bus, saya berjalan kaki dari apartemen. Tiket bus lumayan mahal, 2 Euro sekali naik. Kalau pindah bus, ya harus bayar lagi. Tapi nanti kalau saya sudah memperoleh kartu mahasiswa, naik bus gratis di area Kaiserslautern sekitarnya. Kami naik kereta pukul 9. Dari papan informasi stasiun, waktu tempuh ke Trier adalah 2 jam. Aktivitas di kereta saya isi dengan tidur selama 1 jam. Baru duduk langsung pulas. Istilahnya pelor, nempel langsung molor 😀 Karena pagi tadi saya terbangun lebih awal dan tidak bisa tidur lagi. Akhirnya beberes kamar dan masak buat sarapan sekaligus bekal perjalanan.

Dari stasiun Trier, kami berjalan kaki ke lokasinya. Nggak lama, cuma 10 menit lah. Kami langsung disambut gerbang kuno buatan Romawi bernama Porta Nigra. Dulu sewaktu Romawi berkuasa, Trier pernah dijadikan sebagai ibukotanya. Ada 4 gerbang yang dibangun di sekeliling kota. Tiga lainnya sudah hancur, tinggal Porta Nigra yang utuh dan orisinal. Salah satu penyebabnya adalah warga yang hidup setelah Romawi tumbang yang mengambil puing-puing gerbang tersebut untuk dijadikan bahan rumah dan sebagainya. Mengapa Porta Nigra tidak ikut diambili puing-puing bangunannya oleh warga? Dulu Porta Nigra selain difungsikan sebagai gerbang, juga digunakan sebagai gereja. Karena itulah, masyarakat sekitar tidak berani membongkarnya. Selain itu, Trier pernah dibombardir tentara sekutu saat Perang Dunia. Kata pemandu wisatanya, semua bangunan hancur kecuali Porta Nigra. Sekelilingnya sudah roboh dan berkeping-keping. Akibat serangan itulah yang menyebabkan warna batu pada gerbang Porta Nigra saat ini menjadi hitam, yaitu bekas kepulan asap. Bisa dibayangkan sehancur apa Trier saat itu.

Setelah melewati Porta Nigra, pemandu wisatanya membawa kami menyusuri pusat keramaian. Dia menyebutnya pasar. Mungkin karena banyak toko dan keramaian orang di situ. Jadi pembeli kedai makanan di situ, disediakan kursi di jalanan terbuka. Mereka makan, minum bir atau anggur sambil menikmati kehangatan matahari. Trier tak sedingin Kaiserslautern. Saat kami ke situ, matahari cerah sekali. Wajarlah jalanan terlihat ramai oleh orang. Matahari memang menjadi barang langka di belahan bumi utara atau selatan. Menurut pemandu wisata, kota akan lebih ramai lagi kalau musim panas tiba. Wisatawan dari Luxemburg dan Perancis berbondong-bondong ke Trier.

Trier pernah melahirkan salah satu tokoh dunia yang masih dikagumi sampai saat ini. Namanya Karl Marx. Ada yang belum tahu? Googling aja 😀 Kemudian, kami diajak berkeliling. Ada beberapa peninggalan Romawi yang masih ada. Sebagian lainnya sudah direhabilitasi. Ada patung-patung dan gereja tua. Bagi yang tidak mau pegal berjalan, bisa menggunakan mobil seperti kereta-keretaan. Detail gambarnya dapat dilihat di album foto ini. Tidak lama kami diajak berkeliling, hanya 2 jam. Setelah itu, kami makan siang. Kami baru menuju ke stasiun pukul 3 sore. Ternyata tidak ada kereta langsung ke Kaiserslautern. Kami harus naik kereta ke Saarbrucken, transit di situ. Perjalanan kereta menempuh waktu 1 jam. Seperti biasa, saya langsung tertidur 😀 Kereta ke Kaiserslautern baru ada jam 6 sore. Kami pun menunggu 1 jam, dan dipersilakan pimpinan rombongan keluar stasiun. Ternyata kota ini lebih ramai dari Kaiserslautern. Di depan stasiun langsung ada mall. Baru kali ini saya melihat mall di Jerman 😀 Karena bingung mau apa, saya pun menemani teman dari India yang mau cari sepatu bola di mall itu. Ada kaos bola di toko itu. Saya pun melihat harganya. Wow, satu kaos bola orisinal bisa lebih dari 80 Euro ternyata. Alamak!

Jam 6 kami berkumpul lagi di stasiun Saarbrucken. Kereta pun tiba. Kami bergegas masuk. Kali ini saya tidak tidur di kereta 😀 Niatnya ingin menikmati perjalanan petang dari kereta. Senjanya indah. Sayang saya tidak sempat memotretnya. Jam 7 kami sampai di stasiun Kaiserslautern. Kami pun kembali ke apartemen masing-masing. Di tulisan berikutnya, akan saya ceritakan pengalaman Sabtu ini di acara kumpulnya orang Indonesia yang tinggal di Kaiserslautern. Terima kasih sudah menyimak 😀

Catatan dari Kaiserslautern: Ke Heidelberg

Seperti yang saya janjikan di tulisan sebelumnya, di tulisan ini saya akan menceritakan jalan-jalan saya ke Heidelberg. Kegiatan ini masih satu rangkaian dengan program orientasi kami. Tiap tengah atau akhir pekan ada tempat tertentu yang akan kami kunjungi. Jalan-jalannya sendiri diadakan pada hari Minggu, 1 Maret 2014. Kami diminta berkumpul di stasiun kereta Kaiserslautern (Kaiserslautern Bahnhof) pukul 8 pagi. Karena hari Minggu, tidak ada bus dari apartemen ke stasiun sebelum jam 8. Di jadwal yang saya lihat, bus terawal datang hampir pukul 9. Setelah bertanya ke teman-teman dari Indonesia, saya disarankan berjalan kaki ke stasiun, kurang lebih 30 menit dari apartemen, paling nggak 7.15 harus sudah jalan.

Alhamdulillah, saya bisa bangun lebih awal dari biasanya. Sebagai perbekalan, malam sebelumnya sudah buat nasi lebih banyak buat pagi dan siang. Sebetulnya hari Jumat sudah masak opor ayam, diniatkan buat bekal ke Heidelberg. Tapi karena perut lapar, Sabtu malam sudah habis disikat 😀 Akhirnya sebagai bekal, saya goreng nugget ayam. Jam 8 kurang saya sudah sampai di stasiun. Terlihat sudah banyak teman yang datang. Di salah satu ujung stasiun, ada beberapa anak muda yang sedang mabuk. Dari perspektif saya, mabuknya mereka ‘lebih sopan’ dari pemabuk di Indonesia. Hanya bercanda sendiri, naik turun tangga nggak jelas, tidak mengganggu orang lain. Malah ketika polisi datang, mereka malah bercanda dengan polisi. Dan polisinya ngladenin! 😀

Kami berangkat naik kereta sekitar pukul 08.40an. Keretanya hampir mirip KRL, nggak terlalu besar. Mungkin karena Minggu, penumpangnya tidak banyak. Perjalanannya sekitar 1,5 jam. Karena lama, saya sempat tertidur, hehe. Sekitar 10.15 kami tiba di stasiun Heidelberg. Stasiunnya lebih besar dibandingkan di Kaiserslautern. Dari stasiun kami berjalan sekitar 20 menit ke tempat wisatanya. Setiba di lokasi, kami harus menunggu pemandu wisatanya sampai pukul 11. Rencananya, wisata akan berlangsung selama 3 jam. Jadi, saya memutuskan makan siang dulu. Perut juga sudah lapar karena sedikit sarapan dan udara yang dingin. Setelah pukul 11, wisata pun dimulai. Grup dibagi dua yaitu grup dengan pemandu berbahasa Jerman dan berbahasa Inggris. Mayoritas dari kami memilih pemandu berbahasa Inggris pastinya 😀

Perjalanan wisata dimulai dari kampus tua Heidelberg. Gedungnya memang terlihat sudah lama, tetapi masih kokoh. Ada penjara mahasiswa di situ. Dulu digunakan untuk mahasiswa-mahasiswa nakal yang dihukum kampus. Sekarang sudah tidak diaktifkan lagi. Kami juga sempat mampir ke museum Friedrich Erbert. Beliau adalah presiden pertama Jerman dan dilahirkan di Heidelberg. Kemudian, perjalanan dilanjutkan ke sungai Neckar. Ada jembatan cukup panjang di situ. Pemandangan sungai dan istana terlihat bagus dari jembatan. Setelah puas berfoto-foto, kami menuju kastil yang ada di bukit. Untuk menuju ke sana, kami naik semacam kereta. Tapi jalurnya sangat pendek, hanya 2 menit perjalanan. Tujuannya memang mempermudah mencapai kastil. Jika ditempuh lewat jalan kaki, juga bisa, hanya jalurnya lumayan menanjak.

Di atas, kami melihat sebagian kota Heidelberg yang indah. Kilau pantulan cahaya matahari di sungai menambah keindahannya. Istananya cukup luas. Kami tidak hanya berkeliling, tetapi juga mendengarkan penjelasan dari pemandu wisatanya. Karena cuaca dingin yang membuat otot kaki pegal-pegal, saya tidak bisa berkonsentrasi penuh pada apa yang disampaikan pemandu wisata. Paling tidak ada beberapa gambar yang sempat saya ambil dan dapat dilihat di sini. Pukul 2 siang, wisata selesai. Kami dibebaskan makan siang atau pulang. Kereta langsung ke Kaiserslautern baru tersedia pukul 15.35. Sebagian besar rombongan sepakat langsung pulang. Kami pun menuju ke stasiun. Sambil menunggu kereta, kami makan bekal yang tersisa di tas, dan ngobrol santai. Pukul 17.25 saya tiba di apartemen dengan badan kedinginan dan pegal-pegal, khususnya kaki. Wisata pertama di Jerman, lelah dan menyenangkan. Semoga teman-teman juga dapat berkesempatan berwisata di sini. Aamiin…

Catatan dari Kaiserslautern: Hari-hari Awal

OK, di tulisan ini saya akan melanjutkan cerita sebelumnya tentang awal-awal kehadiran saya di kota baru ini. Jadi, setelah masuk ke kamar dan beristirahat, pembongkaran barang bawaan hampir 35 kilo ini pun dimulai, hehe. Sesuai dengan pesan dari istri dan orang tua, lebih baik berberat-berat bawaan dibandingkan baru cari-cari barang di tempat tujuan. Selain belum bisa dipastikan gampang memperoleh dan tersedia barangnya, selisih harganya tentu lumayan dibandingkan harga di Indonesia. Sebagai suami, anak dan menantu yang baik, saya tentu mematuhi saran ini 😀

Di dalam koper tiga barang yang paling signifikan beratnya: rice cooker, pemanas air, dan panggangan “Happy Call”. Bener-bener berjuang bawa itu koper dari bandara sampai kamar asrama. Dan nggak sia-sia ternyata karena ketiga barang itu langsung dipakai pertama kali sampai di sini. Hari-hari pertama saya makan makanan instan yang dibawa. Ada bubur ayam instan. Rasanya aneh sih. Tapi daripada saya terkapar, mau nggak mau saya makan juga 😀 Diselingi sama indomie juga. Cuma nggak sering-sering. Buat jaga-jaga juga jika kondisi darurat tidak ada makanan lagi. Intinya, saya cukup berhemat untuk makan ini.

Di belakang apartemen memang ada supermarket. Tapi saya belum ada referensi barang-barang apa saja yang halal dibeli. Saya harus tanya dulu ke temen-temen dari Indonesia yang sudah sampai di sini. Di sinilah masalahnya. Akses internet di apartemen sulit saya peroleh. Koneksi wireless yang ada diproteksi oleh masing-masing pemiliknya. Yang saya denger sih bisa sharing, kita ikut iuran untuk bayar koneksi internet per bulannya. Saya pun mencoba mengetok tetangga sebelah, dan hasilnya ternyata mereka menolak untuk berbagi. Alasannya koneksinya sudah penuh. Jadilah hari-hari awal tanpa koneksi internet. Alhamdulillah masih ada pulsa di hp jadi bisa kasih kabar ke keluarga. Mahal sih. Tapi kan karena penting, mau nggak mau harus dilakukan 🙂

Baru hari ketiga saya bisa ketemu dengan teman dari Indonesia, dan ternyata satu gedung! Yassalaam! Itupun saya menggunakan internet dari kampus untuk mengirimkan email kepada teman saya ini. Alhamdulillah, banyak dibantu sama teman untuk informasi, khususnya tentang beli beras. Maklum, perut saya perut warteg. Belum kenyang kalau belum ada nasi 😀 Baru hari keempat saya bisa makan nasi lagi. Alhamdulillah ya Allah 😀 Saya juga ditunjukkan apa yang bisa dibeli dan dimakan di supermarket terdekat. Kemudian, pada akhir pekan saya dibawa ke toko Asia dan Turki di tengah kota untuk membeli SIM Card, daging ayam dan sapi halal.

Hari-hari awal ada banyak kegiatan administrasi yang harus dilakukan. Setiap mahasiswa harus buka akun bank di sini. Karena semua transaksi hampir otomatis dari bank, misalnya bayar apartemen. Setiap bulannya didebit otomatis dari rekening kita. Selain itu juga mengurus penandatanganan kontrak sewa apartemen, pendaftaran ke pemerintah kota, pembayaran asuransi, perpanjang visa. Alhamdulillah semuanya dibantu oleh staf kampus karena semua dokumen berbahasa Jerman, dan saya nggak ngerti apa-apa 😀

Selain berhadapan dengan berbagai dokumen, kegiatan awal diisi dengan kursus bahasa Jerman. Saya tergabung di kelas pemula, A1.1. Pengalaman pertama belajar bahasa Jerman. Asik juga belajar hal baru. Meskipun melelahkan karena setiap hari, tapi cara pengajarannya interaktif. Relatif tidak membosankan. Nanti kita tunggu hasilnya tengah April. Mudah-mudahan tidak mengecewakan, hehe. Di sela-sela kuliah bahasa, ada jadwal tengah atau akhir pekan ke beberapa lokasi wisata. Hari minggu kemarin kami ke Heidelberg. Insya Allah saya tuliskan di catatan berikutnya ya 😀

Catatan dari Kaiserslautern

Yap, melalui tulisan ini saya akan berbagi tentang perjalanan yang saya tempuh dari Jakarta ke Kaiseslautern. Jadi, keberangkatan ini dalam rangka niat saya untuk belajar di Technische Universtat Kaiserslautern (TUK), jurusan Ilmu Komputer. Sebetulnya saya ingin menggunakan pesawat Garuda, cuma karena untuk jurusan ke Frankfurt tidak tersedia dan duit pas-pasan, maka saya memilih terbang menggunakan Malaysia Airlines. Dan berangkatlah saya pada tanggal 15 Februari 2014 dari bandara Soekarno Hatta. Alhamdulillah keberangkatannya bisa diantarkan oleh keluarga. Oh ya, istri dan anak tidak saya bawa kali ini. Insya Allah, rencananya tahun 2015 bisa dibawa ke sana. Mohon didoakan biar berkumpul lagi. Aamiin 🙂

Di tiket pesawat yang saya beli tertulis berangkat pukul 19.50 WIB. Tapi ketika check-in sekitar pukul 17.45, petugas Malaysia Airlines bilang jam berangkat saya dimajukan, ikut pesawat yang berangkat 18.25. Alasannya pesawat 19.50 mengalami keterlambatan dan waktunya tidak akan cukup untuk mengejar pesawat saya berikutnya dari Kuala Lumpur-Frankfurt pukul 23.59 waktu Malaysia. Petugasnya juga bilang, bahwa tinggal menunggu saya untuk berangkat. WOW! OK, maka saya terburu-buru mengejar pesawat. Nggak mungkin keluar lagi untuk berpamitan. Maka lewat telepon saya meminta maaf ke istri dan orang tua, sambil berjalan tergesa-gesa menuju pesawat. Dan tepat ketika saya tiba di gate, para penumpang sudah dipanggil untuk masuk ke pesawat. Ini menjadi pengalaman yang tak terlupakan, sekaligus momen perpisahan yang menyedihkan 😦

Pesawat sampai di Malaysia tepat waktu. Kemudian saya mencari gate berikutnya. Bandara KLIA ini kualitasnya memang di atas bandara Soekarno Hatta untuk saat ini. Untuk berpindah gate, disediakan kereta cepat. Fasilitas internet di bandara kenceng. Ruangan gate-nya juga modern. Pesawat ke Frankfurt berangkat tepat waktu. Kursi pesawat tidak terlalu penuh. Kursi saya terdiri dari 5 lajur. Hanya terisi oleh saya dan seorang lagi, dan kami duduk di tiap ujung. Perjalanan ke Bandara Frankfurt menempuh 12 jam. Karena lelah, saya memutuskan untuk tidur. Ada dua kali makan berat dan sekali makan ringan yang diberikan dalam perjalanan ini. Nggak perlu khawatir kelaparan.

Sekitar pukul 06.30 waktu Frankfurt, 6 jam lebih lambat dari WIB, pesawat mendarat. Sebelum keluar, jaket tebal yang disimpan di tas saya pakai. Dari informasi pilot, suhu luar sekitar 6 Celcius. Dingin bener dah! Setelah mengambil koper, saya mencari info bagaimana sampai ke stasiun Kaiserslautern. Pihak kampus menjanjikan akan menjemput di lokasi itu. Kata petugas informasi, saya harus keluar bandara dan naik shuttle bus menuju terminal 1. Baru selangkah keluar bandara, saya merasakan betul suhu 6 Celcius itu seperti apa. Buru-buru, sarung tangan saya kenakan juga. Oh ya, total barang bawaan saya ada tas punggung, koper kecil seberat 6,5 kilo, dan koper besar seberat 28 kilo! Repot juga sendirian dan membawa beban sebanyak dan seberat itu.

Bus datang dan bergegas masuklah saya dengan jinjingan seberat itu. Udara dingin ini bener-bener bikin nggak kuat, meskipun badan sudah ditutup berlapis. Maklum, saya anak pesisir. Terbiasa hidup di suhu 30an Celcius. Turun dari bus, saya bingung. Semua petunjuk dalam bahasa Jerman. Nggak ngerti. Terus, saya bertanya lagi ke seseorang yang menurut saya adalah petugas. Dia menunjuk saya harus naik ke atas tangga. Alhamdulillah, ada eskalator. Nggak perlu grudag-grudug bawa kopernya. Dengan berbekal nekat, saya baca aja petunjuk-petunjuk yang ada. Buat orang awam seperti saya, petunjuk-petunjuk yang ada sangat jelas. Itu kelebihan negara Eropa menurut saya. Wisatawan atau para pengunjung tidak perlu takut tersesat asalkan membaca petunjuk yang ada dengan tepat.

Sempat kebingungan selama kurang lebih 5 menit, saya memutuskan berhenti, beristirahat, dan melihat sekitar lebih teliti. Kemudian, saya bertanya kepada penjaga toko roti dan ditunjukkan kantor informasi stasiun yang ternyata tepat di depan tempat istirahat saya tadi! Mungkin karena mulai lelah dan efek kedinginan di luar, konsentrasi membuyar 😀 Kemudian saya diberitahu petugas, untuk menuju stasiun Kaiserslautern, saya naik kereta yang berangkat 8.53 dan akan sampai 10.21. Tiketnya 38 Euro. Nama keretanya DB Bahn. Itu yang tertulis di tiketnya. Keretanya cepat dan nyaman. Pinggiran jalan kereta banyak tanah kosong dan lahan pertanian. Saya heran, suasana di luar kereta sepi betul. Baru saya diberitahu kemudian oleh staf kampus bahwa di Jerman, hari Minggu adalah “hari sepi nasional”. Hampir tidak ada pertokoan dan aktivitas.

Untuk menuju Kaiserslautern, kereta yang saya naiki dari bandara Frankfurt, transit di stasiun Mannheim. Di Mannheim, saya berpindah kereta di rel yang berbeda. Stasiun Mannheim ini tidak bersahabat bagi pendatang baru. Eskalatornya hanya ada di beberapa jalur. Dan jalur yang saya tuju, tidak ada eskalatornya! Ada lebih dari 20 anak tangga. Nggak usah dibayangkan betapa capek dan pegelnya 😀 Saya tiba di stasiun Kaiserslautern tepat waktu. Segera saya mencari telepon umum untuk menghubungi pihak kampus yang menjanjikan akan menjemput saya. Sekitar 20 menit kemudian datang seorang bule muda yang ramah menyapa saya. Karena sudah laper dan pegel, saya biarkan dia membantu membawa koper 28 kilo *evil-smirk*

Namanya Steven. Umurnya masih muda, sekitar 30an tahun. Di stasiun saya sempat membeli air mineral. Sempat bingung ketika ditanya oleh penjualnya, mau yang bersoda atau biasa. Steven menjelaskan bahwa biasanya orang Jerman kalau beli air mineral di toko pasti yang bersoda. Saya pilih air biasa aja, cari aman. Dari stasiun saya dibawa ke kampus dulu. Steven mempersilakan saya untuk menelepon ke orang rumah, gratis lewat telpon kampus. Oke nih prosedurnya, memberikan kepastian bagi keluarga yang ditinggal. Saya laporan ke istri, sekitar pukul 11.30an waktu Jerman, jadi sekitar 17.30an di Jakarta. Dari kampus, diantarlah saya ke apartemen. Dari luar, gedungnya nampak tua, tapi kokoh. Kamar saya ada di lantai 3. Eits, ternyata hitungan lantainya dimulai dari 0. So, riilnya kamar saya ada di lantai 4, hahah.

Sementara sampai di sini dulu ceritanya. Nanti akan saya sambung di tulisan-tulisan berikutnya. Wilkommen in Deutschland! Danke schon, sudah mau membaca 😀