Menjalani puasa Ramadhan dan berhari raya ‘Idul Fitri tanpa keluarga, ditemani anak istri, memang terasa betul bedanya. Rasa kangen sedikit terobati ketika mengobrol dengan istri di Whatsapp, melihat foto Carissa yang semakin pintar tingkahnya. Kalau Carissa dan bundanya lagi senggang, tidak repot, happy, dan koneksi bagus, baru kami bertiga bisa ngobrol langsung lewat video call Line. Ya risiko LDR setelah menikah dan punya anak ya begini. Kami berdua tahu risikonya dan memahaminya bahkan sebelum kami menikah. Tapi kenyataan sering lebih pahit dari apa yang kita bayangkan, bukan? Hahahah…. Ya, mudah-mudahan Allah kuatkan keluarga kami yang berjauhan, memberikan keberkahan atas apa-apa yang sedang keluarga kami jalani. Aamiin…
Berlebaran pertama kali di Jerman pastinya berbeda dengan di tanah air. Malam takbiran terasa sepi. Saya sendiri takbiran di kamar, ditemani udara dingin malam dari jendela. Kalau capek, istirahat sebentar, minum atau nyemil. Kemudian, takbiran dilanjutkan sendiri. Malam itu, saya tidak bisa tidur. Soalnya tidur sorenya terlalu lama 😀 Juga cemas jika besok terlambat bangun untuk sholat ‘id. Maklum, 18 jam puasa telah mengacaukan sebagian jam tidur dan aktivitas saya. Alhamdulillah, esok paginya saya tidak terlambat sholat ‘id. Saya memilih sholat ‘id di masjid Arab yang ada di Kaiserslautern. Jadwal sholat ‘id dimulai pukul 08.30. Tetapi saya sudah datang pukul 08.00. Suasana masjid masih cukup sepi. Sambutan ‘Ied Mubarak dari pengurus masjid menyapa hangat kami di pintu masuk.
Di dalam masjid, tidak ada takbiran seperti halnya di Indonesia. Masing-masing jamaah melantunkan takbir lirih. Saya pun mengikuti tradisi yang ada. Daripada risiko takbiran dengan lantang, malah berabe diliatin orang-orang semasjid 😀 Yang menarik perhatian saya adalah, sebelum dimulainya sholat ‘ied, panitia memberikan piagam penghargaan dan hadiah kepada pengurus yang telah berpartisipasi pada kegiatan Ramadhan di masjid. Hal seperti ini belum ada di Indonesia. Mungkin bisa diterapkan untuk memberikan motivasi kepada pemuda supaya lebih giat beraktivitas di masjid, khususnya pada bulan Ramadhan.
Pelaksanaan sholat ‘ied juga berbeda dengan di Indonesia. Makmum tidak mengikuti imam melakukan takbir tambahan pada rakaat pertama dan kedua. Jadi, ketika imam bertakbir, makmum ya diam saja. Karena di Indonesia terbiasa ikut takbir tambahan, ya saya lakukan saja. Baru setelah saya mencari informasinya, memang terdapat beberapa mazhab yang tidak mensyariatkan makmum untuk mengikuti takbir tambahan sholat ‘id. Alhamdulillah nambah ilmu lagi. Jadi jangan buru-buru bilang sesat ya kalau ada yang berbeda. Dicari dulu informasinya, siapa tahu memang ada mazhab yang menyebutkan demikian. Di Indonesia, kita banyak mengikuti pendapat Imam Syafii. Padahal, ada 3 mazhab lain yang juga diakui oleh kalangan ulama, dan menjadi rujukan juga bagi umat Islam di negara lain di dunia.
Selesai sholat ‘id, muslim Indonesia yang tinggal di Kaiserslautern sibuk berbelanja. Rencananya kami akan mengadakan acara makan-makan. Menunya memang tidak ada ketupat, opor, sambel goreng ati. Sangat repot untuk menyiapkan menu masakan itu. Sebagai gantinya, kami menyiapkan barbeque. Setiap pengunjung diharuskan membayar iuran 2 euro, kalau mau lebih ya diterima dengan senang hati 😀 Acara cukup rame, dihadiri sekitar lebih dari 25 orang, dan tidak semuanya muslim. Acara ini memang terbuka bagi siapa saja. Yang penting konfirmasi kehadiran dan bayar iuran, hahah… Beberapa foto sempat saya ambil dan saya posting di sini. Pulang acara, badan masuk angin dan kepala kliyengan. Mungkin karena cuaca dingin dan saya tidak memakai jaket. Penyakit bengek saya dari dulu, ya masuk angin. Bahkan di Jerman pun bisa masuk angin, hahah… Alhamdulillah setelah dibawa tidur, esok paginya badan segar kembali 😀
Sebagian besar dari kita sering keliru memahami hari raya ‘idul fitri sebagai momen penyucian diri, kembali kepada fitrah. Jika dilihat dari maknanya, ‘idul fitri terdiri dari dua kata. Kata pertama, ‘idul dalam bahasa Arab terdiri dari ‘ain, ya, dal. Artinya dalam bahasa Indonesia adalah “Hari Raya”. Adapun, fitri dalam bahasa Arab terdiri dari fa, tha, dan ra. Artinya dalam bahasa Indonesia adalah “Makan” atau “Makanan”. Jadi secara bahasa “Idul Fitri artinya adalah “Hari Raya Makan”. Tidaklah keliru jika salah satu sunnah Rasul sebelum sholat ‘id adalah makan besar, untuk membedakan dengan saat puasa selama Ramadhan yang baru saja berlalu. Karena itu, arti zakat fitr adalah dengan memberi makanan pokok kepada 8 golongan. Supaya pada “Hari Raya Makan” tersebut tidak ada lagi orang kelaparan dan bisa bersuka cita makan. Mungkin terdengar aneh bagi kita, tapi faktanya demikian. Inilah salah kaprah luar biasa dalam masyarakat kita.
Juga tentang kebiasaan berpuasa 6 hari di bulan Syawal, jangan kaget jika ada yang menyatakan bahwa puasa itu tidak ada dalilnya. Karena mazhab Imam Malik memang terang-terangan memakruhkan amalan tersebut. Jangan terburu-buru menyatakan Imam Malik sesat dan tidak tahu dalil. Kitab beliau Al Muwatho adalah karya terbesar dari ulama pada zamannya, karya terbaik sebelum munculnya Hadits Shahih Bukhori Muslim. Imam Malik menilai hadits ahad (tunggal) adanya puasa tersebut kalah kuat dibandingkan amalan penduduk Madinah saat itu. Mungkin bagi kita yang belum tahu, salah satu rujukan mazhab Maliki adalah amalan penduduk Madinah. Jika ada hadits tunggal shahih dan penduduk Madinah beramal berbeda dengan hadits tersebut, maka yang diambil pendapat terkuat adalah amalan ahli Madinah. Pada kasus puasa Syawal ini, penduduk Madinah tidak mengerjakannya. Namun, jika kita mengerjakannya pun tidaklah mengapa. Selain Imam Malik, semua ulama mazhab menghukumi sunnah puasa 6 hari di bulan Syawal. Hanya Imam Malik yang memakruhkannya.
Di akhir tulisan ini, saya mengucapkan selamat Hari Raya ‘Idul Fitri, selamat makan-makan. Taqabbalallahu minna wa minkum. Semoga Allah menerima amal ibadahku dan kita semua. Semoga juga Allah mempertemukan kita dengan Ramadhan berikutnya. Aamiin ya Rabbal ‘Aalamiin…
rujukan informasi:
1. Takbir Tambahan Sholat ‘Id
2. Makna Idul Fitri
3. Puasa Syawal Makruh?