Catatan dari Kaiserslautern: Memilih Presiden

Sepanjang sejarah pemilu Indonesia, baru pemilihan presiden tahun ini yang luar biasa ketatnya. Pertempuran di media sosial luar biasa hebohnya. Juga pertempuran darat di kantung-kantung suara yang tidak kalah serunya. Dengan adanya dua calon, membuat kita terpolarisasi. Kalau tidak pilih capres sini, ya pilih capres situ. Keramaian ini sayangnya tidak diikuti dengan sikap kedewasaan masing-masing pendukungnya. Perbedaan pilihan seolah menempatkan satu golongan berada di surga, dan golongan yang satunya berada di neraka. Yang mulanya berteman, karena berbeda pilihan akhirnya bermusuhan.

Padahal, guru-guru bangsa kita telah memberikan contoh. Aidit (PKI) adalah lawan politik Natsir (Masyumi) di parlemen. Saking emosinya, Natsir bilang rasanya ingin menghajar kepala Aidit dengan kursi. Tapi, hingga rapat selesai, tak ada kursi yang melayang ke kepala Aidit. Malah, begitu meninggalkan ruang sidang, Aidit membawakannya segelas kopi. Keduanya lalu ngobrol tentang keluarga masing-masing. Itu terjadi berkali-kali. Seusai rapat parlemen dan tidak ada tumpangan, Pak Natsir sering dibonceng sepeda oleh Aidit dari Pejambon.

Atau Buya Hamka yang dipenjara oleh Soekarno pada 1964-1966 atas tuduhan subversif. Sebelum Soekarno meninggal, beliau menyampaikan wasiat bahwa ia menginginkan sholat jenazahnya dipimpin oleh Buya Hamka. Dengan kebesaran jiwanya, Buya Hamka mengesampingkan apa yang telah diperbuat Soekarno kepada dirinya. Beliau menyanggupi dan memimpin sholat jenazahnya.

Besok adalah masa ketika negara memberikan ruang kepada setiap warganya untuk ikut menentukan siapa pemimpin negara ini 5 tahun ke depan. Betul bahwa memilih adalah hak warga negara, bukan kewajiban warga negara. Tapi, saya sangat menyarankan teman-teman menggunakan hak pilihnya. Satu suara kita adalah sumbangsih majunya Indonesia ke depan.

Di Jerman, saya sudah ikut memilih lewat pos. Surat suara dikirimkan oleh Panitia Pemilihan Luar Negeri Frankfurt (PPLN) Frankfurt. Suratnya saya terima hari Rabu, 2 Juli 2014. Setelah mencoblos, surat suara saya kirimkan hari Minggu, 6 Juli 2014. Untuk pencoblosan langsungnya, sudah dilakukan serentak di seluruh TPS yang ada di Jerman pada Sabtu, 5 Juli 2014. Adapun penghitungan suara dilakukan dua kali, yaitu pada 9 Juli 2014 dan 13 Juli 2014. Pada 9 Juli untuk menghitung surat suara hasil coblosan di TPS. Yang tanggal 13 Juli untuk rekapitulasi surat suara lewat pos.

Dan setelah pemilu usai, mari kita sama-sama mendukung siapapun presiden dan wakil presiden yang terpilih. Bagaimanapun, begitulah kehendak rakyat Indonesia saat ini. Kita besarkan jiwa, menerima kekalahan, dan menyiapkan kemenangan. Yang kalah mengakui yang menang. Yang menang merangkul yang kalah. Kita adalah satu bangsa. Kita adalah satu saudara. Kita bersama bangun bangsa dan negeri ini, untuk Indonesia Raya.

surat suara 1 surat suara 2