Di salah satu grup whatsapp yang saya ikuti, ada broadcast tentang amalan-amalan yang dilakukan Rasulullah. Sepintas nggak salah sih. Meneladani sunnah Rasul itu kan keharusan sebagai seorang muslim. Yang kemudian membuat saya agak gedeg, kok ya seolah-olah yang nggak ngikutin broadcast itu, dianggep bukan muslim yang bener.
Salah satu isi broadcastnya adalah sunnah makan pakai tangan sebagaimana Rasul lakukan. Ya itu kan bukan kewajiban. Sekedar anjuran saja. Nggak semua makanan bisa diambil pakai tangan. Coba makan mie rebus pakai tangan, atau makan sayur sop, lodeh, asem. Apalagi yang baru mentas. Wuih…. Tapi nggak papa juga kalau tangannya kuat.
Saya menghargai semangat berislam orang yang lagi anget-angetnya. Gabung grup whatsapp islami, dapat broadcast-an, langsung copy paste sebar ke grup lain. Mbok ya sabar dulu. Disaring dulu infonya pakai ilmu. Kok ya langsung merasa benar sendiri, menyalahkan lainnya yang nggak sependapat.
Yang ngetren masa kini juga keberanian menyalahkan ulama-ulama dulu. Modalnya cuma sepenggal kutipan dari google atau (lagi-lagi) broadcast. Kalau njenengan sudah paham bahasa arab, nahwu shorof, syair arab kuno, hadits beserta matan sanad rawinya, sekaligus jarh wa ta’dil, monggoh dikoreksi. Atau gampangnya gini, kalau level njenengan sudah sama dengan ulama-ulama yang ngistimbath hukum, silakan saja.
Dulu saya memahami semua hadits shahih, apalagi yang ada tulisannya Bukhari Muslim, itu wajib hukumnya dilaksanakan. Habis sinau lagi, saya memahami bahwa takhrij hadits itu ijtihad. Meskipun ulama setelah generasi Imam Bukhari dan Muslim, mengakui bahwa kitab haditsnya beliau berdua yang nomor 2 setelah Al Quran. Maksudnya gini, kalau ada hadits dari imam hadits lain, jangan langsung ditolak. Dilihat dulu jarh wa ta’dilnya dari berbagai pandangan. Nanti dilihat juga istimbath dari para ulama fiqihnya bagaimana.
Kok kayaknya ribet bener. Sepintas iya. Tapi sebenernya nggak. Justru menarik. Karena perbedaan pemahaman itu membuat umat punya keberagaman pilihan dalam menjalankan agama ini.
Misalnya tentang bagaimana posisi telunjuk ketika tahiyat awal atau akhir. Ulama-ulama fiqih punya pandangan macam-macam. Ada yang berpendapat diam saja, ada yang digerakkan. Yang digerakkan juga berbeda. Ada yang berpendapat ketika lafaz Allah saja, ada yang berpendapat sepanjang membaca doa tahiyat itu. Umat mau pilih mana? Ya monggoh dipilih yang sreg saja. Yang bener yang mana? Ya semua ulama itu punya dalil dan pemahamannya. Wong ngaji aja makhraj huruf tajwidnya belum bener, kok ngritik ulama.
Yang menurut saya perlu kita kedepankan saat ini, adalah keisitqomahan untuk terus belajar, berbarengan dengan membuka diri untuk bertoleransi bahwa ada lebih dari satu pendapat untuk masalah agama. Ikhtilaf dalam hal furu’iyah nggak akan pernah rampung disatukan sampai kiamat. Hal-hal yang sudah disepakati/menjadi ijma’ oleh para ulama itulah yang tidak boleh diperdebatkan.
Monggoh. Sinau.