Reformasi Tata Kelola Birokrasi
Berbasis Teknologi Informasi
a
Dalam konteks negara Indonesia, institusi pemerintahan memiliki target untuk mencapai empat poin tujuan yang tertulis dalam pembukaan UUD 1945. Keempat tujuan tersebut adalah untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia.
Namun, institusi pemerintahan tersebut ternyata belum mampu menjalankan fungsi dan wewenangnya dengan baik. Alih-alih mempermudah dan membantu masyarakat dalam menyelesaikan permasalahannya, institusi-institusi tersebut seringkali merepotkan masyarakat dengan berbagai pelayanan yang buruk, seperti lamanya proses administrasi, mahalnya biaya pelayanan, hingga maraknya praktek suap, korupsi, dan kolusi di dalamnya.
Menurut penelitian The Asia Foundation, pengusaha Indonesia harus melalui rata-rata tujuh sampai sebelas prosedur yang memakan waktu hingga 128 hari untuk mendapatkan surat izin usaha. Tidak hanya dalam perizinan bisnis yang memerlukan waktu lama dalam pengurusannya. Dalam sektor pelayanan publik juga sering ditemui kasus serupa. Misalnya dalam pembuatan Kartu Tanda Penduduk (KTP), Kartu Keluarga (KK), akta lahir, dan dalam layanan kesehatan bagi warga miskin. Bobroknya birokrasi di negeri ini juga tercermin dari laporan Transparency International (TI) pada tahun 2007 yang menyatakan bahwa corruption perception index Indonesia turun menjadi 2,3 dibandingkan tahun sebelumnya pada angka 2,4.
Polemik birokrasi ini menjadi hambatan pertumbuhan Indonesia dalam skala makro dan mikro. Pengelolaan birokrasi menjadi tidak efektif dan efisien. Pelayanan publik menjadi tidak optimal karena prosedur birokrasi yang berbelit, tingginya korupsi dan pungutan liar, serta ketiadaan transparansi dan akuntabilitas. Kondisi ini diperparah dengan fakta bahwa citra tersebut telah melembaga dan mengakar di berbagai institusi pemerintah yang seharusnya menjadi pelayan publik.
Bobroknya birokrasi di Indonesia memerlukan reformasi yang bersifat komprehensif, strategis, dan praktis. Komprehensif berarti perbaikan yang nantinya dilakukan harus menyentuh seluruh aspek dari mulai kebijakan, sistem, hingga keterlibatan orang-orang yang terlibat dalam rantai birokrasi tersebut, baik dari sisi pemerintah maupun masyarakat. Strategis berarti penerapan reformasi tersebut harus disesuaikan dengan kebutuhan saat ini dan tantangan pada masa datang. Adapun praktis berarti ide dan gagasan yang telah dirumuskan harus dapat diimplementasikan dalam merombak birokrasi di Indonesia.
Oleh karena itu, tidaklah mungkin suatu kebijakan diklaim sebagai sau-satunya solusi untuk memperbaiki permasalahan birokrasi. Ada beberapa variabel lain yang juga menentukan keberhasilan penataan birokrasi. Namun demikian, memang harus ada satu kebijakan yang menjadi sentral dari berbagai kebijakan yang lain karena memiliki kelebihan nilai strategis. Selain itu, kebijakan tersebut memiliki peluang tinggi berperan sebagai policy catalyst dalam mempercepat terjadinya reformasi birokrasi. Berdasarkan pertimbangan itulah, penulis mengajukan ide untuk menerapkan teknologi informasi dalam memperbaiki tata kelola birokrasi di Indonesia.
Wacana e-government sebenarnya bukanlah hal yang baru. Sudah banyak beberapa negara yang telah menerapkannya. Demikian juga dengan beberapa daerah dan instansi di Indonesia. Namun, institusi-institusi tersebut ternyata belum dapat memahami e-government dalam konteks kerangkanya yang utuh. Fenomena yang terjadi mengesankan bahwa e-government tidak lebih dari sekadar menggunakan komputer di kantor untuk mengetik dan mencetak atau membuat aplikasi di internet yang dapat dinikmati oleh publik. Pemahaman tersebut hanya merupakan bagian dari kerangka e-government. E-government harus dipandang sebagai sistem birokrasi yang menuntut transparansi, akuntabilitas, dan perubahan pola pikir untuk memberikan pelayanan publik yang berkualitas.
Kabupaten Sragen di bawah pimpinan Untung Wiyono telah membuktikan bahwa teknologi informasi sangat membantu kinerja birokrasinya. Dalam periode 2002 sampai dengan 2006, dengan menggunakan teknologi informasi penyerapan tenaga kerja di sektor industri menunjukkan peningkatan dari 40.785 jiwa menjadi 58.188 jiwa. Begitu juga dengan investasi yang meningkat dari 592 miliar menjadi 1,2 triliun. Peningkatan juga terjadi pada jumlah perusahaan yang memiliki perizinan (legalitas usaha) dari 6.373 perusahaan menjadi 10.293 perusahaan. Demikian pula dengan Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang jauh melesat dari 7 miliar menjadi sepuluh kali lipatnya.
Sudah tidak tepat lagi kita memperdebatkan apakah e-government ini akan berhasil diimplementasikan di Indonesia yang masih banyak birokratnya buta tentang teknologi. Faktanya, tren globalisasi dunia semakin menguatkan posisi teknologi informasi dalam berbagai sektor. Kita tidak mungkin lagi menghindarinya. Inilah momentum yang tepat bagi kita untuk belajar dan mengembangkan kualitas masyarakat kita dengan teknologi informasi. E-government, sekali lagi, bukanlah cara yang paling efektif. Namun demikian, metode ini terbukti dapat mengurangi banyak hambatan birokrasi yang terjadi dalam suatu sistem pemerintahan. Jadi, kenapa tidak segera mengimplementasikannya?
*ikhtisar karya tulis Seleksi Mahasiswa Berprestasi Fasilkom UI 2008