Dari Sebuah Buku

orang kaya yang mengirimkan anaknya ke sekolah berlabel internasional, seperti menggarami lautan, tapi ia tak sadar telah melubangi kapalnya sendiri [Hanum Rais]

Namanya Hanum Salsabiela Rais. Saya baru mengenalnya lewat buku pertamanya, “Menapak Jejak Amien Rais”. Yap, betul. Hanum adalah putri Amien Rais. Lulusan Kedokteran Gigi UGM yang kini mengabdikan hidup sebagai jurnalis. Bukunya mungkin terkesan subjektif, karena menceritakan salah seorang tokoh besar yang juga merupakan ayahnya sendiri. Namun, di sinilah menariknya. Hanum menceritakan sisi lain seorang tokoh besar, dari perspektif yang kita tak akan pernah memperolehnya, karena kita bukan anaknya.

Salah satu bagian yang mengoyak semangat saya adalah saat Hanum bersekolah dari SD hingga SMA. Amien Rais, sebagai bapaknya, memintanya untuk masuk ke sekolah Muhammadiyah. Karena dengan bersekolah di sana, ia akan membantu bapak dan ibunya. Padahal, nilai Hanum tak jelek. Bahkan, tergolong ke dalam siswa yang pandai. Tentu logika Amien Rais aneh bagi kita. Dalam dunia di mana masyarakatnya justru bangga dengan nama besar sekolah,  bersekolah di institusi swasta mengundang tanya. Apalagi, secara kualifikasi akademis, anaknya memenuhi kriteria untuk masuk ke sekolah unggulan.

Dari berbagai alasan yang ditulis, ada dua hal yang menarik perhatian saya. Pertama, dengan bersekolah di sekolah swasta yang guru honorernya bergaji di bawah rata, berarti turut membantu mereka dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Bagi saya, ini luar biasa. Ini sebuah pengorbanan yang sungguh istimewa. KSaya teringat cuplikan ayat dalam Al Quran, “kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sehahagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan maka sesungguhnya Allah mengetahuinya” [Ali Imran: 92]. Dan Amien Rais, menurut saya, sedang menuju ke sana.

Suatu ketika ada seorang pejabat yang mengatakan kepada Hanum, betapa bangganya dia memasukkan anaknya ke sekolah berlabel internasional. Setengah mencibir, ia enggan bersekolah di sekolah Muhammadiyah karena pendidiknya tak punya semangat dan malas-malasan. Padahal, menurut Hanum, pendidik di sekolah-sekolah seperti Muhammadiyah adalah pejuang, meskipun tidak semuanya punya dedikasi seperti “SD Laskar Pelangi”. Dengan tidak hanya satu dua orang berduit yang punya pikiran seperti pejabat tadi, proses penelantaran anak bangsa akan terus berlanjut.

Orang jauh lebih bangga bisa memasukkan anaknya ke sekolah mahal berlabel internasional, yang notabene sudah sehat baik sumber daya manusia maupun dananya. Pejabat itu sungguh bangga bisa menggarami lautan, tapi ia tak sadar tengah melubangi kapalnya sendiri. Esensi mendidik adalah mencetak dari input yang kurang menjadi lebih. Bukan hanya memoles input yang lebih, lantas merasa jumawa lantang berseru bahwa sekolahnya adalah sekolah unggulan, sekolah terbaik. Kemudian, seolah-olah berhak menentukan biaya sekolah semahal mungkin dengan klaim sepihaknya itu.

Kedua, bahwa bersekolah di Muhammadiyah adalah sebuah upaya untuk tak terjebak pada pengotakan kepandaian demi gengsi. Ternyata mendidik anaknya ke sekolah Muhammadiyah, telah ditunjukkan oleh bapak dan ibu dari Amien Rais. Mereka yakin, sekolah yang utama adalah di dalam rumah itu sendiri. Jika rumah telah membenamkan anak pada asas-asas yang kuat, di mana saja nanti anaknya bersekolah, ia akan survive.

Bandingkan dengan kondisi saat ini, saat orang tua beramai-ramai memasrahkan anaknya kepada sekolah. Seolah-olah kunci pendidikan dan pembentukan karakter anak-anaknya adalah sekolah. Mereka lalai dengan berbagai kesibukannya, karir, jabatan, proyek, dan berbagai pembenaran lainnya dengan dalih “semuanya untuk kebaikan anak-anaknya”. Kita telah masuk dalam sebuah salah kaprah berpikir berjamaah. Karena berjamaah inilah, kita kemudian membenarkannya, meskipun itu keliru.

Saya menghormati Amien Rais dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Dan lewat buku tersebut, saya belajar banyak hal. Salah satunya dari potret kebijakannya dalam mendidik anak-anaknya. Meskipun saya sendiri pun ragu, akankah saya mampu meneladaninya, bahkan sekedar untuk mengirimkan anak saya di sekolah yang “bukan unggulan”? Saya tak tahu pasti.

8 thoughts on “Dari Sebuah Buku

  1. sayangnya gue gak yakin kalo lebih banyak guru2 di sekolah bukan unggulan itu yang bener2 bagus dan pejuang karena mau memberi pelajaran ke anak didiknya walopun gajinya di bawah rata2.. biasanya justru mereka karena gajinya kecil justru berusaha mengambil uang sampingan dengan cara lain yang menurut gue gak fair.. yah tapi tetep aja sih itu kembali ke individu masing2.. tapi realitanya, gue jarang sekali menemukan guru pejuang..

    tapi gue setuju banget ama kalimat ini

    Jika rumah telah membenamkan anak pada asas-asas yang kuat, di mana saja nanti anaknya bersekolah, ia akan survive.

    gak peduli mau sekolah dimana, yang penting anak harus merasakan “sekolah” di rumah dengan ayah dan ibu sebagai guru pertama dalam hidupnya sebelum dia merasakan guru2 lain di luar sana..

  2. jadi, perspektif saya dalam menulis ini ada dua hal, pertama tentang keberanian. keberanian untuk membuat perubahan pola berpikir. dari kebiasaan menikmati apa yang ada, dalam hal ini adalah label sekolah unggulan. menjadi sebuah perjuangan untuk membentuk sekolah unggulan sendiri.

    secara tersirat, ini juga tantangan keberanian untuk kita sendiri. berani membuat sesuatu dari yang bahkan tak dianggap, menjadi sesuatu yang luar biasa.

    kedua, tentang pengabdian itu sendiri. bahwa kita senantiasa terbelenggu oleh paradigma bahwa berbuat baik haruslah berwujud materi dan uang. padahal, kebaikan itu bisa berwujud kebijakan, sikap, dan tindakan. kuncinya adalah konsistensi, ke-ia sekata-an antara hati, akal, dan laku.

    tentu banyak variabel yang mempengaruhi pilihan pak amien tersebut. berlaku juga dengan respon teman-teman terhadap pilihan ini. seperti kata guru ngaji saya, mari kita saling membantu dalam hal yang disepakati, dan saling memahami terhadap hal-hal yang tidak disepakati

  3. @alhamdulillah,orang kaya yang mengirimkan anaknya ke sekolah berlabel internasional, seperti menggarami lautan, tapi ia tak sadar telah melubangi kapalnya sendiri [Hanum Rais]. Pak Amien, insyaallah putra-putri bapak mjd anak2 yg sholeh dan sholihah.

  4. langsung bae lahh,,,,,,,ora pan isin-isin wonge dewek kabeh…..

    ****aku wong anyar ,pengen bisa bareng2 ben aja picek teknologi###

    Matur suwun

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s